"itu milik orang lain mereka akan mengambilnya."
"siapa? " potongku singkat.
"entahlah. Ibu mu terlanjur mengambil keputusan sendir tanpa mempertimbangkannya dahulu." Ata molan itu bergumam sekali lagi dengan nada sedikt pelan. Â Mungkin ia mencoba menjaga perasaanku. Entah kali ini aku tidak dapat dituntut untuk merasakan satu perasaan. Sedih, gembira, cemas, bingung dan........ ah perasaan-perasaan semua itulah yang tidak dapat kucerna dengan baik.
"tidak. Ia adalah milikku." Aku membantah.
"tapi ia sesungguhnya akan menjadi milik orang lain." Aku heran, bingung, cemas atau lebih tepat lagi aku gelisah. Tatapan kosong kujatuhkan tepat di tumpukan semak di halaman rumah tetangga. Kesunyian semakin tercipta di antara kami namun selang beberapa waktu yang  diamkami sempat terperangah oleh  bunyi pecahan gelas yang jatuh membentur lantai. Aku meyakini bahwa sumber bunyi itu tudak lain berasal dari ruang belakang, tepatnya di dapur. Mungkin Dalima mendengar semua isi pembicaraan kami.
"tidak......tidak mungkin." teriak Delima disusuli jeritan panjang. Tanpa dikomando aku berlari menuju ruang belakang tempat keberadaan Delima. Semuanya terasa kaku-membatu. Rinai air mata perlahan mengalir membentuk sepasang sungai kecil di pipiku.Â
Ku dapati Dellima terlungsar di Lantai dengan sebatang paku karat yang mengujam tepat di batang lehernya. Darah perlahan merembih kesekujur tubuhnya. Tanpa berpikir panjang lagi kularikan Delima kerumah sakit terdekat setelah cibiran sejenak bersarang tepat di kupingku.
"mungkin butuh sedikit lagi waktu untuk selesai ." suara serak ata molan.
III
Malam ini suasana RSUD begitu sepi tak banyak yang dapat kulakukan selain menguraikan doa sebagai ketenagnan seperti lima tahun silam. Di kesunyian itu aroma tubuh ibu mula menusuk ruang hidungku. Semakin tajam aromanya hingga pada akhirnya hilang bersamaan dengan teriakan panjang perawat dari ruang  di mana Delima Berada.
"dok, jantungnya berhenti berdetak."