Oleh: Krisanti_kazan
Apakah kurikulum yang ada sudah sesuai dengan kebutuhan zaman dan mengakomodasi perkembangan pesat di berbagai bidang? Bagaimana dengan peran teknologi dalam proses pembelajaran? Apakah pendidik memiliki akses dan keterampilan yang cukup untuk mengintegrasikan teknologi secara efektif dalam pembelajaran?
Setiap tahun, Hari Pendidikan Nasional menjadi momentum penting bagi kita untuk merefleksikan perjalanan pendidikan kita sebagai bangsa, sekaligus mempertimbangkan sejauh mana kita telah menjadi teladan sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara, pendiri pendidikan modern Indonesia.
Melalui pengamatan sejarah dan momen-momen signifikan, kita dapat menilai pencapaian kita serta menentukan arah untuk masa depan pendidikan Indonesia.
Sejarah Hari Pendidikan Nasional
Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan. Hari nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.
Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia.
Filosofinya, Tut Wuri Handayani ("di belakang memberi dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. Ia wafat pada tanggal 26 April 1959.
Untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan Indonesia, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Filosofi Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara atau yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, adalah tokoh pendidikan yang memiliki filosofi dan kontribusi yang sangat penting bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Filosofi Ki Hajar Dewantara, yang dicontohkan melalui pendirian "Taman Siswa", memberikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter dan kemandirian individu.
Gagasan Ki Hadjar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodo” (pendidik memberikan teladan), “In Madyo Mangun Karso” (pendidik selalu berada di tengah, terus memulai dan memotivasi), dan “Tut Wuri Handayani” (pendidik selalu mendukung dan mendorong peserta didik untuk maju), tidak hanya merupakan slogan dan kata-kata indah semata. Berikut adalah inti dari filosofi Ki Hajar Dewantara:
Pendidikan untuk Semua.
Ki Hajar Dewantara percaya bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya, berhak atas pendidikan yang berkualitas. Ia memperjuangkan akses pendidikan yang luas dan merata untuk semua orang.
Pendidikan Karakter.
Lebih dari sekadar mentransfer pengetahuan, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang pintar secara akademis, tetapi juga yang memiliki integritas moral, etika, dan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
Pendidikan Kemandirian.
Filosofi Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya mengembangkan kemandirian dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan seharusnya membantu individu untuk menjadi mandiri secara ekonomi, sosial, dan intelektual, sehingga mereka dapat aktif dalam menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
Pendidikan yang Relevan dengan Budaya Lokal.
Ki Hajar Dewantara mendorong pengembangan pendidikan yang mengakar pada budaya lokal. Ia memandang bahwa pendidikan yang relevan dengan budaya lokal tidak hanya memperkaya identitas individu, tetapi juga membantu dalam pemeliharaan dan pengembangan kearifan lokal.
Pendidikan Sebagai Proses Seumur Hidup.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukanlah sesuatu yang hanya terjadi di sekolah. Ia melihat pendidikan sebagai proses yang berkelanjutan sepanjang hidup, di mana individu terus belajar dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan.
Baca juga: Refleksi Pemikiran KHD
Filosofi Ki Hajar Dewantara ini tidak hanya menjadi landasan bagi pendidikan di Indonesia, tetapi juga memberikan inspirasi bagi gerakan pendidikan di banyak negara lainnya.
Melalui konsep Taman Siswa dan pemikirannya yang progresif, Ki Hajar Dewantara terus dihormati sebagai salah satu tokoh pendidikan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Momen Refleksi
Setiap tahun, saat Hari Pendidikan Nasional tiba, kita sering kali terperangkap dalam rutinitas perayaan yang mungkin terkesan sekadar seremonial. Namun, di balik sorotan perayaan tersebut, terdapat kesempatan yang berharga untuk merenung dan mengevaluasi pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak hanya menjadi momen untuk merayakan keberhasilan dalam mencapai target pendidikan atau memperingati tokoh-tokoh pendidikan yang berjasa.
Lebih dari itu, ini adalah kesempatan bagi kita semua untuk merenungkan tantangan dan perubahan yang terus menerus menghadang dunia pendidikan.
Salah satu refleksi penting adalah mempertimbangkan aksesibilitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Masih banyak anak-anak yang terpinggirkan dari pendidikan berkualitas karena berbagai alasan, mulai dari faktor ekonomi hingga geografis.
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi panggung untuk menggugah kesadaran akan pentingnya memperjuangkan hak pendidikan bagi setiap anak, tanpa terkecuali.
Selain itu, momen ini juga menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi kualitas pendidikan yang diberikan. Apakah kurikulum yang ada sudah sesuai dengan kebutuhan zaman dan mengakomodasi perkembangan pesat di berbagai bidang?
Bagaimana dengan peran teknologi dalam proses pembelajaran? Apakah pendidik memiliki akses dan keterampilan yang cukup untuk mengintegrasikan teknologi secara efektif dalam pembelajaran?
Baca juga: Kurikulum Nasional Baru: Memilih Menjadi Guru Optimis atau Pesimis?
Pentingnya pendidikan karakter juga merupakan aspek yang patut dipertimbangkan. Sekolah bukan hanya tempat untuk mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi juga tempat untuk membentuk karakter dan moralitas anak-anak.
Maka dari itu, Hari Pendidikan Nasional dapat menjadi momen untuk mengingatkan akan pentingnya memperkuat nilai-nilai moral dan etika dalam sistem pendidikan.
Tidak kalah pentingnya adalah refleksi tentang peran orang tua dan masyarakat dalam mendukung pendidikan. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat sangatlah vital untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan optimal anak-anak.
Kesimpulannya, sebagai bangsa yang berkomitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kita perlu melihat kembali apakah pendidikan kita sudah mencerminkan nilai-nilai kreativitas, keberagaman, dan keadilan.
Hari Pendidikan Nasional bukan hanya menjadi waktu untuk merayakan pencapaian, tetapi juga untuk introspeksi diri dan menetapkan komitmen baru untuk mencapai cita-cita pendidikan yang lebih mulia.
Dengan merenungkan sejarah dan filosofi pendidikan nasional, kita dapat membangun masa depan pendidikan yang lebih baik, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Hanya dengan mewujudkan visi dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pahlawan pendidikan kita, kita dapat menjadi teladan sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara.
Jadi, saat kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, mari kita manfaatkan momen tersebut untuk lebih dari sekadar perayaan. Mari kita gunakan sebagai kesempatan untuk merenung, mengevaluasi, dan berkomitmen untuk terus memperjuangkan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan berdaya saing bagi semua anak bangsa.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H