Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kabinet Prabowo Efektivitas atau Pemborosan

18 Oktober 2024   23:48 Diperbarui: 19 Oktober 2024   01:24 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KABINET PRABOWO: EFEKTIVITAS ATAU PEMBOROSAN?  

Prabowo Subianto, calon presiden yang diprediksi memimpin Indonesia dalam waktu dekat, dikabarkan akan membentuk kabinet dengan 47 menteri. Ini merupakan langkah signifikan mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini hanya memiliki 34 menteri dalam susunan kabinetnya. 

Dengan perbedaan tersebut, muncul pertanyaan: Apakah kabinet yang lebih besar akan lebih efektif, atau malah membawa masalah baru dalam hal efisiensi dan penggunaan anggaran negara?

Sebagai perbandingan, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, India, dan China---yang memiliki populasi hampir setara dengan Indonesia---justru dikelola dengan jumlah menteri yang lebih sedikit. Amerika Serikat, misalnya, hanya memiliki 15 departemen kabinet, sementara India, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,4 miliar, hanya memiliki sekitar 25 menteri di level kabinet. 

Bagaimana mungkin negara-negara besar ini dapat mengelola pemerintahan dengan lebih sedikit menteri, sedangkan Indonesia merasa perlu menambah jumlahnya?

Mari kita analisis lebih dalam mengenai manfaat dan risiko dari susunan kabinet besar, serta bagaimana ini berkaitan dengan efektivitas tata kelola pemerintahan dan pengeluaran negara.

PRO DAN KONTRA KABINET BESAR 

Pro: Meningkatkan Spesialisasi dan Fokus 

Argumen utama untuk mendukung kabinet yang lebih besar adalah kemampuan untuk memperluas spesialisasi. Dengan lebih banyak menteri, pemerintah dapat menunjuk individu-individu yang sangat ahli di bidang tertentu, seperti ekonomi digital, energi terbarukan, atau kesehatan masyarakat. 

Dalam teori manajemen, konsep ini berhubungan dengan "division of labor", di mana pembagian pekerjaan yang lebih rinci dapat meningkatkan produktivitas. Dalam konteks kabinet, pembagian ini bisa berarti penanganan isu-isu spesifik dengan lebih mendalam.

Model ini mendukung gagasan "functionalism" dalam sosiologi, di mana setiap bagian dari sistem pemerintahan memiliki fungsi spesifik yang berkontribusi pada kestabilan keseluruhan. Kabinet besar memungkinkan pemerintah menempatkan pejabat yang fokus pada tugas-tugas spesifik yang mungkin terlewatkan dalam struktur yang lebih kecil.

Kontra: Tumpang Tindih dan Inefisiensi  

Namun, argumen kontra kabinet besar sangat signifikan. Dengan semakin banyaknya menteri, risiko tumpang tindih tugas dan fungsi meningkat. Studi yang diterbitkan oleh Harvard Kennedy School menunjukkan bahwa birokrasi yang besar sering kali mengalami inefisiensi dalam pengambilan keputusan karena banyaknya level dan posisi yang harus dilalui sebelum keputusan dapat diimplementasikan. Ini dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan menciptakan masalah koordinasi antar menteri.

Pendekatan ini juga bisa membawa kita pada pemahaman tentang "Parkinson's Law", teori yang dikemukakan oleh C. Northcote Parkinson pada tahun 1955. Parkinson menyatakan bahwa "pekerjaan cenderung berkembang untuk mengisi waktu yang tersedia untuk penyelesaiannya." Dalam konteks ini, semakin besar birokrasi atau kabinet, semakin besar kecenderungan bahwa pekerjaan administratif dan proses menjadi lebih lambat dan lebih rumit.

PERBANDINGAN INTERNASIONAL: USA, INDIA, DAN CHINA  

Amerika Serikat: Sistem yang Lebih Sederhana dan Efisien  

Amerika Serikat hanya memiliki 15 departemen kabinet yang menangani bidang-bidang utama seperti keuangan, pertahanan, dan kesehatan. Sistem ini memungkinkan koordinasi yang lebih mudah antara menteri dan Presiden. 

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Brookings Institution, struktur kabinet yang lebih ramping di Amerika Serikat memungkinkan proses pengambilan keputusan yang lebih cepat, terutama dalam situasi krisis. Presiden hanya perlu berkoordinasi dengan beberapa orang kunci, yang masing-masing bertanggung jawab atas bidang yang sangat luas namun spesifik.

India: Struktur yang Lebih Fleksibel dengan Koordinasi yang Ketat  

India, dengan populasi lebih dari 1,4 miliar, memiliki sekitar 25 menteri kabinet yang menangani berbagai bidang pemerintahan. Meski lebih besar daripada Amerika Serikat, struktur ini tetap relatif kecil dibandingkan ukuran populasi dan kompleksitas masalah yang dihadapi negara ini. 

Satu studi dari Indian Council for Research on International Economic Relations (ICRIER) menunjukkan bahwa struktur kabinet di India dirancang untuk fleksibilitas dalam menghadapi tantangan domestik, namun dengan koordinasi yang ketat dari Perdana Menteri, memungkinkan pemerintah merespons dengan cepat perubahan kebijakan.

China: Sentralisasi dan Efisiensi Tinggi 

China, dengan model pemerintahan sentralisasi, hanya memiliki sekitar 26 kementerian yang menangani berbagai sektor. Menariknya, meskipun struktur kabinetnya tidak terlalu besar, pemerintah China dikenal sangat efektif dalam mengimplementasikan kebijakan, khususnya di bidang ekonomi dan pembangunan. 

Dalam studi yang diterbitkan oleh Journal of Contemporary China, sistem birokrasi yang sentralistik ini memungkinkan pemerintah bertindak cepat dan terkoordinasi, terutama dalam proyek-proyek strategis seperti infrastruktur besar.

BIAYA YANG DITIMBULKAN OLEH KABINET BESAR  

Tidak bisa dipungkiri bahwa kabinet yang lebih besar memerlukan biaya yang lebih tinggi. Setiap menteri tidak hanya menerima gaji, tetapi juga staf, anggaran operasional, dan fasilitas. Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019, anggaran untuk gaji dan tunjangan para menteri mencapai lebih dari Rp 150 miliar per tahun. Jika jumlah menteri ditingkatkan menjadi 47, pengeluaran untuk gaji dan fasilitas saja bisa melonjak hingga Rp 200 miliar lebih.

Lebih jauh lagi, biaya tidak hanya terbatas pada gaji dan tunjangan. Setiap kementerian membutuhkan kantor, staf administratif, kendaraan, serta berbagai fasilitas lainnya. Mengingat situasi anggaran negara yang sering kali terbatas, terutama setelah pandemi COVID-19, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah pengeluaran ini benar-benar sepadan dengan manfaat yang diberikan?

 APAKAH KABINET BESAR MENJAMIN EFEKTIVITAS?  

Satu argumen penting yang harus dihadapi adalah apakah kabinet yang lebih besar benar-benar berkontribusi pada efektivitas pemerintahan. Dari berbagai kajian yang telah disebutkan, tampak bahwa efektivitas sebuah kabinet lebih bergantung pada kualitas kepemimpinan, koordinasi antar menteri, dan kemampuan pemerintah untuk merespons tantangan, bukan pada jumlah menteri itu sendiri.

Dalam kajian dari Center for Governance and Public Policy di Griffith University, efektivitas pemerintahan sering kali dikaitkan dengan kemampuan koordinasi, manajemen konflik, dan respons cepat terhadap isu-isu publik. 

Kabinet yang besar, meskipun memungkinkan adanya spesialisasi yang lebih mendalam, bisa terjebak dalam masalah koordinasi yang justru memperlambat proses pengambilan keputusan.

Selain itu, perlu diingat bahwa dalam teori politik, pemerintah yang terlalu besar sering kali menjadi beban bagi rakyatnya, baik dari segi biaya maupun dari segi efektivitas pengambilan kebijakan. Dalam pandangan "public choice theory", birokrasi cenderung memperluas diri karena kepentingan para birokrat untuk memperbesar kekuasaan dan otoritas mereka, bukan demi kepentingan publik.

PENTING UNTUK DIRENUNGKAN 

Kabinet besar seperti yang direncanakan oleh Prabowo memiliki kelebihan dalam hal spesialisasi dan pembagian tugas yang lebih jelas. Namun, dari perspektif internasional dan teori manajemen, kabinet yang besar juga berisiko menghadirkan inefisiensi, tumpang tindih tugas, dan pembengkakan anggaran negara. 

Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, India, dan China telah membuktikan bahwa pemerintahan yang efektif tidak selalu memerlukan jumlah menteri yang banyak, melainkan membutuhkan koordinasi yang baik, kepemimpinan yang kuat, dan kemampuan untuk merespons tantangan dengan cepat.

Bagi Indonesia, tantangan utama bukanlah jumlah menteri, tetapi bagaimana memaksimalkan kinerja para menteri tersebut dengan anggaran yang terbatas dan memastikan bahwa setiap kementerian dapat memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan rakyat. 

Kabinet yang besar mungkin menjanjikan spesialisasi, tetapi kabinet yang efisien dan terkoordinasi dengan baik adalah kunci keberhasilan dalam tata kelola pemerintahan yang efektif. (KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun