Koridor Kenangan
Di sudut koridor kampus yang sunyi, Arya selalu bertemu dengan Nisa. Setiap kali mereka berpapasan, senyuman kecil dan sapaan hangat selalu terucap di antara mereka. Mereka telah menjadi teman, cukup dekat, namun tidak pernah lebih dari sekadar itu. Di dalam hatinya, Arya merasakan cinta yang begitu mendalam terhadap Nisa, namun ketakutannya untuk mengungkapkan perasaan itu selalu menghalanginya.
"Hei, Nisa," sapa Arya suatu hari, sambil menahan detak jantung yang berdebar-debar.
"Hai, Arya! Sudah siap untuk ujian besok?" Nisa menjawab dengan senyuman yang membuat Arya semakin jatuh cinta.
Arya tersenyum, meski hatinya ingin mengatakan lebih dari sekadar jawaban sederhana, "Iya, sudah. Kamu sendiri bagaimana?"
"Oh, lumayan. Aku butuh semua doa yang ada," Nisa tertawa ringan sebelum melanjutkan langkahnya.
Setiap pertemuan singkat mereka selalu meninggalkan jejak di hati Arya. Ia tahu bahwa perasaannya kepada Nisa lebih dari sekadar teman, namun ketakutan akan penolakan membuatnya tetap diam. Baginya, risiko kehilangan Nisa sebagai teman terlalu besar untuk diambil.
Hari-hari berlalu, dan Arya tetap memendam perasaannya. Hingga suatu hari, saat sedang duduk di perpustakaan, ia menerima pesan dari Nisa yang membuatnya terkejut.
"Arya, kamu bisa datang ke acara pernikahanku minggu depan?" pesan itu berbunyi.
Arya terdiam, seolah-olah dunia berhenti berputar. Nisa akan menikah, dan ia tidak pernah tahu. Dengan tangan gemetar, Arya membalas pesan itu dengan singkat, "Tentu, Nisa. Aku akan datang."
Minggu berikutnya, Arya berdiri di sudut ruang resepsi, menyaksikan Nisa yang cantik dalam balutan gaun pengantin. Hatiku hancur saat melihat senyum bahagia di wajahnya, senyum yang seharusnya menjadi miliknya. Arya mencoba tersenyum dan menyembunyikan rasa sakitnya di balik tatapan kosong.
Selama bertahun-tahun, Arya mencoba menjalani hidupnya. Namun, bayang-bayang penyesalan selalu menghantuinya. Ia tahu bahwa ia telah kehilangan kesempatan untuk bersama Nisa, cinta sejatinya.
Suatu hari, saat berjalan di taman yang sepi, Arya melihat sosok yang familiar. Dari kejauhan, ia melihat Nisa bersama tiga anak kecil dan seorang pria yang tampak bahagia. Anak-anak itu berlari-lari sambil tertawa riang, sementara Nisa dan suaminya mengawasi dengan penuh cinta.
Arya berhenti dan bersembunyi di balik pohon besar, menyaksikan pemandangan yang menghancurkan hatinya. Anak-anak itu seharusnya menjadi miliknya, jika saja ia berani mengungkapkan perasaannya dulu. Tapi kini, semua sudah terlambat.
Dalam diam, Arya berdoa untuk kebahagiaan Nisa, meski hatinya dipenuhi penyesalan yang tak terperi. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa melupakan cinta pertamanya, cinta yang tak pernah terucap.
Beberapa minggu kemudian, Arya menerima pesan dari seorang teman lama, Dini. Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe untuk mengenang masa lalu.
"Hai, Arya! Lama tidak bertemu," sapa Dini sambil tersenyum hangat.
"Hai, Dini. Apa kabar?" jawab Arya, mencoba menyembunyikan perasaannya yang masih terbebani.
Setelah berbicara sejenak, Dini tiba-tiba berbicara tentang Nisa. "Kamu tahu, kan, Nisa sudah menikah dan punya tiga anak sekarang?"
Arya mengangguk pelan, "Iya, aku tahu."
Dini melanjutkan, "Dia pernah bercerita padaku bahwa dia sebenarnya pernah menyukai seseorang di kampus, tapi orang itu tidak pernah menunjukkan perasaannya. Akhirnya, dia menerima lamaran orang lain."
Arya terkejut dan terdiam sejenak. "Siapa orang itu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Dini menggeleng, "Dia tidak pernah memberitahuku. Tapi aku bisa melihat ada penyesalan di matanya saat bercerita."
Mendengar itu, hati Arya semakin hancur. Ia tahu bahwa orang yang dimaksud Nisa adalah dirinya. Penyesalan itu semakin dalam, mengetahui bahwa perasaan mereka sebenarnya saling berbalas, namun ketakutan dan keraguan telah menghalangi mereka.
Arya berjalan pulang dengan hati yang berat. Di taman yang sepi, ia duduk di bangku, merenungi semua kesalahan dan keputusan yang telah diambil. Ia tahu bahwa waktu tidak bisa diputar kembali, dan penyesalan ini akan terus menghantuinya.
"Seandainya aku berani dulu, semua ini mungkin akan berbeda," gumamnya pelan sambil menatap langit senja yang mulai gelap.
Namun, penyesalan tidak mengubah apa pun. Arya tahu bahwa ia harus menerima kenyataan dan mencoba melanjutkan hidupnya, meski bayang-bayang cinta pertama itu tak pernah benar-benar hilang dari hatinya. (KH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H