Minggu berikutnya, Arya berdiri di sudut ruang resepsi, menyaksikan Nisa yang cantik dalam balutan gaun pengantin. Hatiku hancur saat melihat senyum bahagia di wajahnya, senyum yang seharusnya menjadi miliknya. Arya mencoba tersenyum dan menyembunyikan rasa sakitnya di balik tatapan kosong.
Selama bertahun-tahun, Arya mencoba menjalani hidupnya. Namun, bayang-bayang penyesalan selalu menghantuinya. Ia tahu bahwa ia telah kehilangan kesempatan untuk bersama Nisa, cinta sejatinya.
Suatu hari, saat berjalan di taman yang sepi, Arya melihat sosok yang familiar. Dari kejauhan, ia melihat Nisa bersama tiga anak kecil dan seorang pria yang tampak bahagia. Anak-anak itu berlari-lari sambil tertawa riang, sementara Nisa dan suaminya mengawasi dengan penuh cinta.
Arya berhenti dan bersembunyi di balik pohon besar, menyaksikan pemandangan yang menghancurkan hatinya. Anak-anak itu seharusnya menjadi miliknya, jika saja ia berani mengungkapkan perasaannya dulu. Tapi kini, semua sudah terlambat.
Dalam diam, Arya berdoa untuk kebahagiaan Nisa, meski hatinya dipenuhi penyesalan yang tak terperi. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa melupakan cinta pertamanya, cinta yang tak pernah terucap.
Beberapa minggu kemudian, Arya menerima pesan dari seorang teman lama, Dini. Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe untuk mengenang masa lalu.
"Hai, Arya! Lama tidak bertemu," sapa Dini sambil tersenyum hangat.
"Hai, Dini. Apa kabar?" jawab Arya, mencoba menyembunyikan perasaannya yang masih terbebani.
Setelah berbicara sejenak, Dini tiba-tiba berbicara tentang Nisa. "Kamu tahu, kan, Nisa sudah menikah dan punya tiga anak sekarang?"
Arya mengangguk pelan, "Iya, aku tahu."
Dini melanjutkan, "Dia pernah bercerita padaku bahwa dia sebenarnya pernah menyukai seseorang di kampus, tapi orang itu tidak pernah menunjukkan perasaannya. Akhirnya, dia menerima lamaran orang lain."