Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ustadz Somid, dari Pesantren ke Penjara

29 September 2024   06:14 Diperbarui: 29 September 2024   06:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari Pesantren Ke Penjara

 Cerpen oleh Kris Hadiwiardjo

Somid, seorang ustadz yang terhormat, mengawali kariernya dengan tekad suci untuk mendirikan pesantren di sebuah desa terpencil. Pesantren itu tumbuh dengan santri yang datang dari berbagai daerah, menghormati Somid bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena kesederhanaan hidupnya. Ia dikenal sebagai guru yang bijaksana, yang mengajarkan tentang pentingnya kejujuran dan hidup yang lurus di hadapan Tuhan.

Namun, ambisi yang tak terduga mulai tumbuh dalam diri Somid. Ketika ia diundang untuk bergabung dengan sebuah partai politik besar, hatinya goyah. Janji perubahan dan pengaruh politik yang ditawarkan partai tersebut mulai memikatnya. Dalam hitungan bulan, ia pun meninggalkan pesantrennya dan mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Sebuah langkah yang tak diduga santri-santrinya, yang kini merasa kehilangan bimbingan sang ustadz.

"Ustadz sudah jarang ke sini lagi," keluh seorang santri kepada temannya, Ahmad. "Katanya mau jadi anggota DPR. Pesantren kita bagaimana?"

Ahmad, yang juga kecewa, hanya bisa mengangguk. "Ya, semoga saja Ustadz ingat kalau kita di sini masih butuh bimbingannya."

Kehidupan politik ternyata jauh lebih menggoda daripada yang dibayangkan oleh Somid. Ketika ia resmi dilantik sebagai anggota DPR, ia mulai mendapatkan akses ke berbagai informasi sensitif, salah satunya adalah soal proyek-proyek besar yang didanai oleh APBN. Miliaran hingga triliunan rupiah akan dikucurkan ke daerah-daerah, dan di situlah Somid melihat peluang. Hubungannya dengan beberapa gubernur mulai terbentuk, terutama ketika ia mulai memberi tahu mereka tentang proyek-proyek yang bisa mereka manfaatkan.

Di sebuah pertemuan rahasia dengan salah satu gubernur daerah, Somid memulai rencananya.

"Pak Gubernur, ada proyek besar dari pusat yang akan dikucurkan ke daerah Anda," kata Somid sambil tersenyum tipis.

"Oh, benar, Ustadz? Bisa dijelaskan lebih rinci?" tanya gubernur itu, penasaran.

"Dana besar, Pak. Triliunan. Tapi saya bisa bantu mempercepat proses kucurannya. Tapi, ya... tentu saja ada syaratnya."

Sang gubernur mengernyitkan dahi. "Syaratnya?"

Somid mendekat dan berbisik, "20% untuk saya, Pak. Kalau setuju, saya pastikan dana ini cepat cair."

Awalnya, gubernur itu terkejut, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Kalau memang itu jalannya."

Tawaran Somid ini cepat menyebar di kalangan pejabat daerah. Ia segera dikenal sebagai 'calo' APBN paling berpengaruh. Rumahnya yang dulu sederhana kini menjulang megah dengan arsitektur modern, mobil-mobil mewah parkir di garasinya. Rolls Royce, Lamborghini, Bentley---semua mengisi halaman rumah yang kini lebih mirip istana. Kehidupan istrinya, Siti, juga berubah drastis.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di ruang makan besar, Siti menatap suaminya dengan penuh kebanggaan.

"Pak, lihatlah kita sekarang. Dulu rumah kita hanya rumah kayu reyot, sekarang kita punya istana seperti ini. Mobil-mobil mewah, perhiasan, segalanya berubah. Ini semua karena usaha Bapak," kata Siti sambil menunjukkan kalung emasnya yang berkilauan, dengan berlian sebesar biji kurma menggantung di dadanya.

Somid hanya tersenyum puas. "Ya, Bu. Semua ini hasil kerja keras dan kesempatan yang datang. Tuhan memberi kita rezeki."

Namun, perubahan besar dalam hidup Somid dan keluarganya tak luput dari perhatian para tetangga dan santri di pesantren yang ia tinggalkan. Mereka melihat kemewahan yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan ustadz yang dulu mereka hormati.

"Lihat itu, Ustadz Somid sekarang hidup seperti raja," bisik seorang tetangga kepada yang lain di pasar.

"Ya, padahal dulu rumahnya kumuh, mobilnya pun bobrok. Sekarang kok tiba-tiba jadi mewah sekali," sahut yang lain dengan nada iri.

"Kalau begini sih, pasti ada main belakang. Tak mungkin secepat itu kaya raya kalau tidak ada yang aneh," tambah seorang pedagang dengan nada sinis.

Sementara itu, di pesantren yang kini terbengkalai, para santri semakin merasakan kehilangan bimbingan dari Somid. Pesantren yang dulu ramai dengan pengajian kini sepi, dan guru-guru pengganti yang ditunjuk tidak memiliki kharisma yang sama seperti Somid.

"Ustadz Somid berubah sejak masuk politik," kata Ahmad kepada teman-temannya suatu sore setelah mereka selesai mengaji.

"Iya, dulu dia mengajarkan kita untuk hidup sederhana, tapi lihatlah sekarang. Apa yang dia ajarkan sudah tidak sejalan dengan apa yang dia lakukan," jawab seorang santri lain dengan nada sedih.

"Kita harus bagaimana? Pesantren ini semakin sepi," kata yang lain. "Ustadz Somid terlalu sibuk dengan urusan politiknya. Pesantren ini sudah tak jadi prioritas lagi."

Somid tidak sadar bahwa di balik kehidupannya yang glamor, KPK dan lembaga pelacak transaksi keuangan sudah mulai mengendus gaya hidup mewahnya yang tidak sesuai dengan penghasilan resminya sebagai anggota DPR. Setiap transaksi mencurigakan di rekeningnya dipantau, dan setiap mobil mewah yang dibelinya semakin menarik perhatian.

Pada suatu pagi, berita tentang skandal korupsi Somid mulai mencuat di berbagai media. Televisi, koran, dan media sosial dipenuhi berita tentang "calo" APBN yang selama ini beroperasi di balik layar. Nama Somid menjadi perbincangan publik. Anak-anak dan istrinya, yang dulu menikmati kemewahan, kini ketakutan dan bersembunyi dari sorotan media.

"Pak, bagaimana ini? Apa yang akan terjadi pada kita?" tanya Siti dengan suara bergetar saat mereka duduk di ruang tamu yang sunyi.

Somid hanya bisa menunduk. "Kita harus kuat, Bu. Semua ini hanya ujian."

"Tapi mereka bilang Bapak korupsi. Bapak kan selalu bilang bahwa semua ini rezeki dari Tuhan," kata Siti, mencoba mencari pembenaran.

"Bu... mereka tidak mengerti. Semua ini akan berlalu," jawab Somid, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa akhir dari semuanya sudah dekat.

Tak lama kemudian, penyelidikan resmi dilakukan, dan Somid ditangkap. Ia berusaha menggunakan berbagai alasan, mengklaim bahwa ia adalah korban dari sistem, dan bukan aktor intelektual di balik skandal korupsi yang melibatkan dana triliunan rupiah. Namun, semua jurus yang ia gunakan sia-sia. Bukti-bukti transaksi tidak wajar dan gaya hidup mewahnya sudah terlalu jelas.

Di dalam penjara, Somid merenungkan semua yang telah terjadi. Dari seorang ustadz yang dihormati, kini ia menjadi narapidana yang dipermalukan. Kehidupan yang pernah ia anggap sebagai berkat, ternyata adalah jalan menuju kehancuran. Kejahatan yang ia lakukan terungkap dengan cara yang memalukan, menghancurkan kehidupan keluarganya, menghancurkan pesantren yang dulu ia bangun dengan tekad suci, dan menghancurkan reputasinya di mata masyarakat. (KH)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun