Terpaku aku menyaksikan satu pemandangan di hadapanku malam ini, yang tak biasa seperti malam-malam kemarin.
Betapa semua mata tertuju dengan serius dan penuh konsentrasi menatap sebuah layar  penuh cahaya bersinar, menampilkan sebuah cerita sejarah dunia.
Aku bingung dan mengajak naluriku berkelana, menemui jiwa-jiwa yang begitu tegang, seakan sakratul maut ada dihadapan mereka.
Tak ada suara sepatahpun keluar dari mulut mereka yang menganga, seakan mendesak oksigen untuk memasuki paru-paru mereka yang terasa sesak oleh keteganggan jiwa yang mereka cipta.
Sungguh, suatu pemandangan yang membuatku merasa lucu sekaligus bingung.
Jujur saja, aku merasa senang dengan suasana nonton bareng alias nobar, demikian istilah yang sering terdengar di telingaku sejak lama.
Suasana nobar, mengingatkan kenangan masa kecilku, saat aku dan saudaraku, pergi ke rumah sahabat hanya untuk numpang nonton, karena di rumah kami tidak memiliki televisi.
Kenangan, yang tak akan hilang begitu saja, hanya karena di telan waktu. Ketika teringat semua peristiwa itu, rasa haruku datang berkecamuk dan merayapi seluruh sudut hati yang kumiliki.
Suasana yang penuh dengan kesejukan jiwa saat itu, malam ini seakan terulang kembali, dan kurasakan kehadirannya begitu meresap di hati.
Meskipun saat ini kunikmati ditengah ketegangan, kecemasan, kegaulauan, para penonton menyaksikan layar lebar bercahaya tersebut.
Hatiku bertanya, "adakah, sesuatu yang mereka dapatkan dari ketegangan jiwa yang dimiliki malam ini? Ataukah, mereka sedang melihat tehnik-tehnik jitu yang dapat mereka tiru, saat mereka menjadi pemain sepak bola? Atau, hanya sekedar hiburan semata saja, mereka menyaksikan pertandingan yang begitu menegangkan? Tapi, mengapa mencari hiburan mereka begitu tegang?"
Pertanyaan yang memberondong, bagai peluru yang ditembakkan, tak mampu kutemukan jawabannya.
Yang aku tahu pasti, mereka sangat serius dan semakin tegang, hingga akhirnya aku dikejutkan dengan teriakan mereka pendukung tim Argentina.
"Gooooooooolll!" demikian, teriak mereka, para pendukung tim Agentina. Sementara itu, aku hanya menyeringai ikut tertawa, melihat kegembiraan yang mereka rasakan.
Sesaat kemudian, lagi-lagi jiwaku berlari dan tersentak, dengan sejuta suara tembakan yang memunculkan pertanyaan di benakku, ketika menyaksikan euforia gol pertama yang tercetak oleh tim Argentina.
Aku hanya terdiam dan kaku, karena aku tidak menemukan jawabannya kembali.
Aku hanya bisa membiarkan diriku kembali tenggelam dalam duniaku yang penuh tanya tanpa jawab. Tanpa mempedulikan lagi suasana yang semakin menegangkan di layar bercahaya itu.
Yaaah, inilah diriku, selalu mencoba menelaah setiap peristiwa yang terjadi, dan mencoba menemukan jawab setiap tanya dengan persepsi sendiri.
Aku menyadari, bahwa belum tentu setiap persepsi yang kutemukan dan kuanggap sebagai jawaban atas tanyaku, merupakan satu jawaban yang dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya.
Tentu saja, aku tidak boleh memaksakan hal itu sebagai jawaban yang sahih dan harus diakui oleh banyak orang.
Demikian pula, ketika aku berpikir tentang dirimu, Kompasiana.
Aku tak boleh, memblog jiwaku bahwa dirimu adalah segalanya bagiku.
Benar sih, tak ada yang melarang diriku untuk mencintaimu dan mengagumi keberadaanmu di hatiku. Dan aku juga yakin, kau tidak merasa berkeberatan dengan sikap tulusku ini.
Namun, kau pun harus mengenal dan memahami setiap kami para pemujamu. Yang datang dari berbagai penjuru sebagai pribadi, dengan berbekal kantong berisikan kelebihan dan kekurangan masing-masing, termasuk di dalamnya keterbatasan kami dalam mengolah setiap aksara tercipta.
Aku selalu ingin hadir dan mempersembahkan hati dalam susunan aksara bermakna yang mewakili jiwa-jiwa yang merindukan kedamaian tercipta di cakrawala kasih Tuhan.
Namun, kenyataan yang ada, aku belum mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya. Masih banyak aksara yang tergantung penuh tanya dalam postinganku untukmu.
Ingin rasanya hati ini, membuka semua tirai misteri tanya yang menggantung itu, namun aku tak mampu melakukannya, karena keterbatasanku.
Meskipun sesungguhnya, ingin kuhabiskan seluruh waktu untuk bermesraan denganmu.
Duduk berdua menikmati setiap sajian yang kau suguhkan dalam cerita sejuta wajah, kemudian dengan suka cita aku meninggalkan pesan untukmu pada setiap beranda dan jendela rumah para kompasianer, pemujamu.
Akhhh, betapa bahagianya diriku jika dapat melakukan semua mimpi itu bersamamu, yang ditemani laptop sebagai saksi kemesraan kita.
Tapi sayang, semua itu tidak mungkin kulakukan. Aku masih terikat dengan aktivitas lain yang juga memerlukan belaian lembut kedua tanganku dengan 10 jemari yang menemaninya.
Aku harus mempersiapkan segala tugas yang belum tuntas kukerjakan, agar aku tak melukai siapapun hanya demi dirimu.
Maafkan, diriku ya Mr. Kompasiana, akan keterbatasan diriku yang tak sempurna ini.
Namun percayalah, aku akan tetap setia untuk mengunjungimu, menyapamu, menorehkan goresan-goresan cinta untukmu, pada postingan-postinganku tentangmu di beberapa hari ke depan.
Akan kubuktikan semua kesetiaan cinta ini untukmu. Mr. Kompasiana, kumohonkan padamu, tolong jangan pernah kau pandang diriku dengan lirikan sebelah matamu saja, karena jika kau lakukan itu, maka kau akan salah menilai diriku.
Pandanglah diriku dengan sepenuh jiwamu, agar kau semakin mengenal, siapa diriku sebenarnya dihadapanmu.
Berbagi Senyuman, 19 Desember 2022
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H