Mohon tunggu...
Kres Dahana
Kres Dahana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Penyuluhan Pertanian Universitas Jenderal Soedirman

Membaca lalu menulis... Menulis lalu membaca...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Desa dengan Difusi Teknologi yang Memanusiakan Masyarakat Desa

1 Oktober 2021   22:48 Diperbarui: 6 Oktober 2021   08:27 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan masyarakat bukanlah pembangunan ekonomi. 

Konsep pembangunan masyarakat lebih besar daripada pembangunan ekonomi (Robinson dan Green, 2011), tetapi konsep ini sering disamakan dan akibatnya menjadi rancu.  

Arti membangun masyarakat disempitkan menjadi membangun ekonomi.  Dan akhirnya yang muncul adalah program-program pembangunan fisik dan bantuan-bantuan yang bersifat ekonomi.  

Sementara, inti dari pembangunan masyarakat yang menuju ke arah pembangunan sumberdaya manusia (SDM) menjadi hilang, khususnya pada masyarakat perdesaan.  Yang sangat membutuhkan pembangunan SDM.

Masyarakat desa selalu dikonotasikan sebagai masyarakat yang miskin, tertinggal, berpendidikan rendah dan bermatapencaharian di bidang agraris.  

Anggapan ini, meskipun tidak sepenuhnya benar, tetapi mewakili wajah sebagian besar penduduk perdesaan. 

Miris memang, karena hal ini berarti wajah dari sebagian besar bumi pertiwi.  Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah perdesaan dan sebagian besar penduduk Indonesia adalah masyarakat perdesaan.  

Dan ini berarti pula, membangun masyarakat perdesaan, berarti membangun sebagian besar penduduk Indonesia, mulai dari titik yang paling belakang!

Hal yang terpenting dalam membangun desa adalah membangun manusianya.

Dengan memberikan pengetahuan, ilmu dan teknologi, yang dibutuhkan oleh masyarakat.  Klausa ini sudah jamak kita lihat sejak orde baru, mungkin membosankan, tetapi mutlak dibutuhkan masyarakat desa, dan kenyataannya, masih minim sekali diberikan pemerintah (pusat maupun daerah).  

Tidak menafikan, beberapa tahun terakhir, kemajuan masyarakat desa sangat terasa khususnya terkait teknologi.  Tetapi sekali lagi harus diingat (dan dipertanyakan), apakah hal tersebut merupakan keberhasilan program pemerintah, ataukah itu merupakan aksi swadaya dari masyarakat desa sendiri.

Semestinya, pemerintah memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat desa untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, bukan hanya sekedar memberikan bantuan atau program yang sifatnya fisik dan (katanya) bersifat pembangunan ekonomi.  

Namun kenyataannya, ini hanya seperti memberi ikan kepada nelayan, bukan kail, kapal, atau bahkan teknologi budidaya ikan atau pengolahannya.  

Pada akhirnya, setelah program 'ikan' itu selesai, ya selesai sudah semuanya.  Program 'bagi-bagi ikan' ini akhirnya tampak seperti 'kegiatan menghabiskan anggaran'.  Padahal, mungkin tidak ada maksud demikian.  

Tetapi karena perencanaan dan ide-ide yang kurang sempurna dalam menyusun program pembangunan masyarakat. 

Pola-pola seperti ini berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya evaluasi yang jelas.  Bila ada evaluasi pun, itu hanyalah (bersifat) administratif saja, bukan terhadap inti kegiatan.  

Tanpa adanya evaluasi, bagaimana kita mengharapkan program selanjutnya menjadi lebih baik.  Contoh lain program tanpa evaluasi adalah bansos bantuan langsung tunai (BLT).  

Bertahun-tahun BLT diberikan pada masyarakat desa (dan kota juga) yang miskin, apakah sudah memberikan dampak positif.  Apakah kemiskinan di desa berkurang dengan pemberian BLT ini?  

Perlu ada evaluasi yang mendalam.  Kasat mata saja, jumlah penerima BLT tidak berkurang setiap tahunnya!

Jadi, apa yang inti dan diperlukan masyarakat desa untuk berkembang?  

Untuk dapat berkembang, masyarakat desa tidak hanya membutuhkan modal material (dana/BLT/kredit bunga ringan), tetapi juga membutuhkan modal immaterial.  

Modal ini justru lebih penting ketimbang dana besar yang digelontorkan pada masyarakat.  

Masyarakat desa membutuhkan sesuatu yang baru, teknologi yang baru, agar mereka tidak berputar-putar dalam labirin kemiskinan.  Berikan arah baru, petunjuk baru, dengan teknologi baru.

Masyarakat desa dan teknologi baru, akan menjadi kajian yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut oleh akademisi, pengamat sosial, LSM bahkan pemerintah.  

Pertanyaan yang muncul pertama kali adalah 'teknologi apa yang sesuai untuk masyarakat desa?' dan 'bagaimana masyarakat desa mau menerima teknologi baru tersebut?'

Teknologi untuk Masyarakat Desa(?)

Meskipun masyarakat desa saat ini sudah mengalami kemajuan dalam hal pendidikan dan literasi terutama dari internet yang sudah masuk ke pelosok desa, namun untuk menerima perubahan khususnya yang terkait dengan sistem fundamental mereka, agak sedikit sulit.  

Barangkali, teman-teman kita, yang berprofesi sebagai penyuluh (pertanian, agama, KB, kesehatan dan lain-lain) sudah sering menghadapinya.  Betapa sulitnya mengubah

Sesuatu yang telah mereka kuasai, kerjakan dan yakini kebenarannya bertahun-tahun, dan diminta diubah begitu saja, langsung mendapat penolakan.  

Contohnya, masyarakat desa yang berprofesi petani selama berpuluh-puluh tahun dengan cara tradisional, ketika dikenalkan teknologi modern -- mekanisasi alat, langsung mengalami penolakan.  

Alasannya, menghalangi petani-petani gurem (buruh tani; petani lahan kecil dan lain-lain) untuk mendapatkan penghasilan.  Meskipun kemudian, beberapa teknologi modern ini akhirnya diterima (tetapi tidak semua).

Jadi seperti apa teknologi yang mudah diterima masyarakat desa.  

(Mungkin) bukan hanya teknologi yang meningkatkan derajat kesejahteraan, tetapi harus juga memanusiakan masyarakat desa serta tidak menghalangi hubungan antara masyarakat desa yang masih bersifat paguyuban.  

Sebagai contoh petani dengan mudah menerima teknologi traktor roda dua menggantikan alat bajak kerbau, tetapi sulit menerima traktor roda empat. 

Penyebabnya, sawah petani kebanyakan sempit dan setiap sawah dibatasi pematang yang cukup lebar, sehingga traktor roda empat sulit bermanuver (alasan teknis). 

Contoh yang lain, petani mudah menerima power threser untuk menggantikan alat panen tradisional, tetapi tidak mau menerima combine harvester. 

Alasannya, menjadikan penghasilan orang mbawon (orang yang menawarkan tenaga untuk memanen padi) menjadi berkurang.  

Traktor roda dua dan power threser adalah contoh teknologi yang meningkatkan derajat kesejahteraan, namun tetap memanusiakan masyarakat desa.  

Sedangkan, traktor roda empat dan combine harvester adalah contoh teknologi yang (dapat) meningkatkan kesejahteraan, namun kurang memanusiakan.  Kurang mengkoneksikan antar warga desa.  Bahkan bisa menjadi penyebab hubungan dengan tetangga menjadi kurang harmonis.

Sulit memahami apa yang bisa diterima dan ditolak oleh masyarakat desa, jika hanya menggunakan cara pandang teoritis saja, tanpa memahami pola pikir (dan perasaan) masyarakat desa yang unik dan masih tradisional.

Mendifusikan Teknologi ke Masyarakat Desa (?)

Setelah 'menemukan' teknologi yang tepat, masalah kedua adalah bagaimana cara mendifusikan teknologi baru tersebut ke masyarakat.  Di sini digunakan terminologi 'difusi' bukan 'sosialisasi' yang lazim digunakan, karena kata yang paling tepat digunakan untuk proses memberikan sesuatu yang baru pada masyarakat adalah difusi, sedangkan sosialisasi adalah hubungan antar individu atau kelompok dalam masyarakat.  

Hal ini dijelaskan dengan gamblang oleh Everett M. Rogers (2003) dalam bukunya Diffusion of Innovations, bahwa difusi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara para anggota suatu sistem sosial. 

 Atau, difusi adalah jenis komunikasi khusus di mana pesannya adalah tentang ide baru. Tidak boleh keliru lagi!

Ketika kita mencoba menyampaikan teknologi baru ke masyarakat desa, setidaknya ada 4 (empat) elemen utama yang harus diperhatikan, yaitu (jenis) inovasi (teknologinya), saluran komunikasi yang digunakan, waktu yang diperlukan dan sistem sosial (Rogers, 2003).

Jenis inovasi atau teknologinya. 

Di atas telah dibahas mengenai masyarakat desa yang menginginkan teknologi yang memanusiakan.  Yang menjembatani paseduluran (persaudaraan).  Bukan teknologi yang memisahkan.  

Bukan teknologi yang menjadi tenaga manusia tergantikan seluruhnya.  Karena masyarakat desa masih banyak yang menganggap, kerja itu harus berkeringat.  

Jika anda tidak berkeringat, maka anda tidaklah dianggap bekerja.  Contoh, bila A dan B punya lahan sawah 0,5 ha. Si A, meskipun juga menyewa tenaga, namun banyak pekerjaan di sawah yang di kerjakan sendiri. 

 Sebaliknya si B, menggunakan tenaga dari luar seluruhnya, tidak sekali pun turun tangan sendiri (seolah hanya manajer saja).  Penduduk desa akan menyebut si A nyawah (mengerjakan sawah) dan si B tidak.  Meskipun keduanya sama-sama memiliki sawah dan mengerjakannya.

Saluran komunikasi.  

Berbicara tentang saluran komunikasi dalam difusi teknologi, berarti harus bicara mengenai siapa, dengan apa dan bagaimana.  Siapa yang berbicara pada masyarakat desa mengenai teknologi baru.  Tentunya orang yang dipercaya masyarakat.  Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh-tokoh informal yang lain.  

Pada masyarakat desa yang relatif tertutup, pesan dari tokoh-tokoh tersebut akan lebih didengar daripada si pembawa teknologi itu sendiri.  Jadi, si pembawa teknologi cukup meyakinkan para tokoh-tokoh tersebut untuk berada di pihaknya.  Dengan apa menyampaikan pesan kita agar para tokoh berada di pihak kita.  

Tentunya dengan bersilaturahmi, menemui para tokoh dengan hormat, dan menyampaikan apa yang kita bawa dengan cermat.  

Prinsip semoni piyayi (hormati para tokoh) harus mengakar dalam setiap bahasa dan tindakan kita.  Bagaimana menampilkan teknologi kita agar diperhatikan masyarakat, yaitu pada saat kegiatan berkumpul mereka.  

Masyarakat desa kental dengan kegiatan kumpul-kumpul, untuk kegiatan keagamaan, adat, atau hal-hal yang lain.  Di situlah teknologi baru kita kenalkan sedikit demi sedikit.  Catatan, pendifusi harus ikut bergabung dengan kegiatan masyarakat.

Waktu.  Lama untuk mendifusikan suatu teknologi baru sangat tergantung banyak hal.  Menurut Rogers (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi lama tidaknya adopsi inovasi (dan teknologi), antara lain:

  • Keuntungan relatif

Sejauh mana suatu teknologi baru dianggap lebih baik daripada ide yang digantikannya.  Traktor roda dua dianggap lebih baik dari bajak kerbau, power threser lebih baik dari alat panen tradisional.  Keduanya merupakan contoh teknologi yang dianggap lebih baik dari yang digantikannya.  Tetapi ada contoh yang sebaliknya, transplanter padi.  Meskipun lebih cepat, namun tidak dianggap lebih baik, karena membutuhkan kondisi-kondisi khusus.

  • Kesesuaian

Sejauh mana suatu teknologi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan pengadopsi potensial.  Contoh, teknologi urea tablet.  Secara efektifitas, jauh lebih baik dibandingkan urea tabur (prill), tetapi sampai saat ini, teknologi ini tidak digunakan petani secara luas.  Mengapa? Meskipun digembor-gemborkan sebagai program (masa orde baru), ternyata ketersediaan tidak mendukung.  Jadi apabila sekarang program tersebut digaungkan kembali, masyarakat tani di perdesaan pasti langsung berasumsi akan sangat sulit diperoleh. (Pengalaman masa lalu).

  • Kompleksitas

Sejauh mana suatu teknologi baru dianggap sulit untuk dipahami dan digunakan.  Kita gunakan contoh lebih umum.  Mengapa dulu ponsel Nokia unggul di suatu masa, tetapi selanjutnya mereka tenggelam?  Karena masalah kompleksitas.  Nokia, ponsel yang sangat mudah digunakan dengan platform symbian-nya (S30, S60, S90).  Mereka penguasa pasar ponsel.  Ketika era ponsel pintar tiba, Nokia salah langkah.  Mereka memilih sistem Windows Phone ketimbang Android yang lebih mudah dan applicable.  Hasil akhir bisa ditebak, mereka hancur lebur.  Kata kuncinya -- kompleksitas teknologi.

  • Trialabilitas

Sejauh mana teknologi baru dapat dicoba dengan dasar yang terbatas.  Di desa, segalanya masih terbatas, masih minimal.  Teknologi baru akan berhadapan dengan faktor keterbatasan.  Jika tidak bisa mengatasinya, difusi gagal dilakukan.  Contoh, ketika mengenalkan teknologi solar cell atau wind mill pada desa yang belum teraliri listrik.  Hanya saja, di desa tersebut, sinar matahari sangat kurang karena adanya kabut (dataran tinggi), serta angin pun tidak terlalu kencang. Hasilnya dapat ditebak, teknologi tidak akan terdifusi dengan baik, tidak efektif menghadapi keterbatasan yang ada.

  • Observabilitas

Sejauh mana hasil teknologi baru terlihat oleh orang lain.  Contoh hal ini adalah ketika mengenalkan teknologi tanam padi menggunakan bibit muda umur 14 -- 21 hari (biasanya petani menanam pada umur 30 hari bahkan lebih).  Karena yang ditanam bibit yang masih sangat muda, ditambah lagi (hanya) ditanam 1 -- 3 bibit per lubang tanam, terlihat tanaman dan lahan sangat 'kosong', bahkan banyak yang berkomentar 'mengenaskan'.  Seiring waktu, komentar akan berganti menjadi kekaguman, ketika tanaman padi tumbuh dengan anakan yang lebih banyak daripada teknologi sebelumnya.  Masyarakat desa melihat (mengobservasi) sendiri, proses demi proses teknologi baru ini.  Dan akhirnya, mereka teryakinkan.

Sistem sosial  

Rogers mendefinisikan sistem sosial sebagai sebagai seperangkat unit yang saling terkait yang terlibat dalam pemecahan masalah bersama untuk mencapai tujuan bersama.  Apa pengaruh sistem sosial terhadap difusi.  Sangat besar!  Sistem sosial terkait dengan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.  

Dan khususnya pada masyarakat desa, terdapat norma-norma yang dipelihara sangat ketat secara turun menurun, baik terkait dengan agama, adat, bahkan mitos. Bisa diambil contoh, pada perdesaan dengan pesantren (tradisional) yang memegang teguh norma-norma tertentu mereka, akan sangat sulit mendifusikan teknologi internet.  

Mereka beranggapan, meskipun internet memberikan dampak positif yang besar, namun dampak negatifnya juga tidak kalah besar.  Dan jelas pendapat ini tidak bisa dikatakan keliru.  

Demikian pula mendifusikan teknologi pada desa-desa yang terisolasi (atau sengaja mengisolasi diri) itu juga akan sangat sulit.  Masyarakat Badui Dalam atau Suku Samin misalnya.  

Katz (1961) berkomentar, mempelajari difusi tanpa pengetahuan tentang struktur sosial tempat pengadopsi potensial berada sama tidak masuk akalnya dengan mempelajari sirkulasi darah tanpa pengetahuan yang memadai tentang pembuluh darah dan arteri.

Tingkat Adopsi Masyarakat Desa terhadap Difusi

Apakah bila kita sudah memperlajari keempat saluran difusi akan memastikan teknologi baru terdifusi dengan baik?  Tentu tidak.  Ada satu faktor yang sangat utama dan sulit diubah dalam waktu yang pendek, yaitu masyarakat desa itu sendiri.

Tingkat adopsi masing-masing masyarakat desa berbeda-beda, tergantung tingkat pendidikan, norma yang mengikat, ketokohan dan sebagainya.  Dan ini sangat mempengaruhi pola adopsi dari masyarakat yang bersangkutan.

Rogers membagi masyarakat ke dalam 5 (lima) kategori pengadopsi, yaitu:  (1) inovator, (2) pengadopsi awal, (3) mayoritas awal, (4) mayoritas akhir, dan (5) lamban (atau penentang).  

Apakah kelima kategori ini ada semuanya di masyarakat?  Menurut pengamatan kami, tipe pengadopsi 2 sampai 4 hampir selalu ada di masyarakat. 

Tipe pengadopsi 1 dan 5 lebih jarang terlihat (terlebih tipe 1).  Tetapi, bila ada tipe 1, inovator, difusi teknologi akan berjalan lebih mudah.  Sebaliknya, bila ada tipe 5 di masyarakat, lamban/penentang, difusi teknologi akan berjalan lebih sulit.

Dalam dunia penyuluhan dikenal hal yang unik mengenai tipe-tipe pengadopsi ini.  

Secara singkatnya seperti ini.  Bila dalam masyarakat terdapat 1 -- 5% saja yang bertipe lamban/penentang, dan 95% bertipe siap mengadopsi sesuatu yang baru.  

Dalam perjalanan waktu, apabila tidak diantisipasi dengan baik, 95% ini akan cenderung menurun, hingga tidak seorang pun mau menerima teknologi baru.  

Jadi kuncinya, yang bertipe lamban/penentang, harus diantisipasi, diberi pengertian lebih mendalam.  

Dan sangat baik bila melibatkan tipe inovator dan juga pengaruh ketokohan.  Setidaknya, bila mereka tidak bisa menerima teknologi baru, mereka tidak menolaknya secara frontal.

Kesimpulan

Meringkas pembahasan di atas.  

Pembangunan desa bukan hanya pembangunan ekonomi, namun lebih ke pembangunan SDM.  Lebih tepatnya dengan mengenalkan teknologi-teknologi baru, yang memanusiakan masyarakat desa.  

Tidak menghambat paseduluran dan norma-norma yang dianggap penting di desa.

Untuk mendifusikan teknologi, perlu melihat empat komponen, yaitu inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial.  Juga perlu melihat tipe-tipe masyarakat desa yang menjadi sasaran difusi teknologi. 

REFERENSI

 Robinson, J. W. and Green, G. P. (2011) Introduction to community development: theory, practice, and service-learning. California: SAGE Publications, Inc.

Rogers, E. M. (2003) Diffusion of Innovations. 5th edn. New York: Free Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun