Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat Komunal?

23 September 2015   13:38 Diperbarui: 4 April 2017   17:58 4705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jika memperhatikan kecenderungan orang mensikapi persoalan-persoalan bersama yang menyangkut hajad hidup orang banyak, masihkah kita percaya bahwa kita adalah masyarakat yang membangun budaya berdasarkan nilai-nilai komunal?"

 

BELAJAR DARI APA YANG TERJADI

Dengan segera kita akan mengaku bahwa masyarakat kita memiliki nilai-nilai kebersamaan komunal yang luhur dan baik. Yang dari generasi ke generasi diturunkan sebagai budaya bangsa dalam wujud banyak tradisi, kebiasaan dan adat istiadat, tertulis maupun tidak tertulisan.

Akhir-akhir ini, dalam banyak kesempatan diskusi bersama kawan-kawan yang menaruh kepedulian kepada fenomena masyarakat, kami sering diperhadapkan pada situasi dimana nilai-nilai - yang disebut sebagai nilai komunal dan bahkan jati diri bangsa itu dipertanyakan. Tidak saja pada kejelasan ukuran-ukurannya, melainkan juga pada ketidakjelasan konsep dan prakteknya.

Melestarikan alam, menjaga kebersihan lingkungan, memelihara sumber-sumber kehidupan alami, diakui sebagai nilai komunal yang sering dijadikan slogan bahkan dibanggakan - disombongkan menjadi kekuatan masyarakat menghadapi perubahan jaman dan kerakusan manusia.

Bersikap saling pengertian, mendahulukan orang lain yang lemah dan tak berdaya, menghormati keharmonisan dan keselarasan, ramah, juga acap dijadikan semacam trade-mark yang menegaskan betapa nilai-nilai komunal itu selalu menjadi semangat yang menghidupi masyarakat.

Nilai komunal adalah nilai bersama yang dengan mudah menggugah kesadaran orang untuk merasa, berpikir dan bertindak secara bersama-sama berdasarkan dorongan hati yang berjumpa dengan dorongan hati orang lain.

Jadi semisal nilai komunal adalah menghormati alam, tentu ketika terjadi tanda-tanda bahwa alam itu tidak lagi dihormati, atau malah hanya dieksploitasi sebagai alat kapital pemuas nafsu duniawi, maka dengan segera akan banyak orang menyatukan hati, menyatukan pikiran, dan menyatukan tindakan untuk berbuat sesuatu.

Semisal keharmonisan dan keselarasan adalah merupakan nilai komunal, maka kesemrawutan, ketidaktertiban, dan bencana kekacauan lalu lintas yang terjadi setiap saat itu niscayalah segera akan menggugah hati, pikiran, dan tindakan untuk mengatasinya secara bersama-sama.

Nyatanya? Sekalipun logika sederhana seperti itu mudah untuk dimengerti, sambil dengan sukarela dan sukacita menuduh - menunjuk-nunjuk, bahkan mengutuk orang yang berbeda dari "kebanyakan" sebagai individualist, egois, tak mau tahu dengan nilai-nilai budaya, slogan indah itu tidaklah mampu menggugah kesadaran bersama, apalagi pemikiran bersama, dan apalagi tindakan bersama.

Lantas dimana nilai komunal itu? Atau setidaknya di saat mana nilai komunal itu benar-benar ada wujudnya?

DIMULAI DARI PARA PEWARTANYA

Mungkin dulu yang berperan aktif sebagai pewarta nilai-nilai yang berkembang di masyarakat adalah para empu, para bijak, para orang berpendidikan (yang bukan sekedar penyandang gelar panjang), para rohaniawan-berhati-berilmu (mohon maaf harus perlu ditegaskan seperti ini), yang berinteraksi langsung-nyata-partisipatif dengan alam, manusia lain dan fenomena sosial (konteks yang mudah dimanipulasi oleh pewarta palsu).

Pewarta nilai semacam ini dengan mudah bisa dirasakan ketulusannya, keprihatinannya, empatinya, dan niat terbaik dimana hidupnya dicurahkan. Oleh karenanya, pewarta semacam inilah yang sangat dihormati-didengar-diajak diskusi-dikritisi oleh masyarakat. Tidak jarang pewarta semacam ini harus dicari terselip ditengah-tengah kampung sangat sederhana, dipinggiran kota, didalam padepokan di antara buku dan ilmu, di dalam hutan atau pantai sepi. 

Fungsi pewarta nilai adalah untuk menegaskan, meyakinkan, dan memastikan bahwa para pendengarnya memiliki kesediaan dan kesempatan untuk berfleksi, berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai keluhuran itu. Para pewarta ini nyata bukan saja secara fisik, namun bisa jadi secara ide-gagasan-pemikiran yang selalu relevan dan berpusat pada kesadaran kemanuasiaan yang hidup dalam satu bumi bersama dengan segala macam makhluk yang lain.

Dalam konteks dunia yang sistematika hidup bahkan segala aset-asetnya terkontrol-terpusat-terkuasai oleh piramida tidak adil, para pewarta yang asli tersingkir oleh pasar pendidikan, media, dan koalisi politik-ekonomi yang menggila. Celakanya ketiganya kadanga berkolaborasi dan memposisikan dirinya sebagai pewarta tunggal, lengkap dengan sanksi dan ancaman.

Mahasiswa (ilmuan calon otaknya masa depan peradaban) pertanian yang berani mempertanyakan kelicikan Mosanto berkamuflase berada aman di dalam pusat-pusat penelitian pertanian, para team penyuluh pertanian, dan para pengambil kebijakan pertanian, akan terancam kelulusannya.

Mahasiswa ilmu sosial, politik, hubungan internasional, dan segala jurusan humaniora, harus dengan gemetaran membaca karya-karya Karl Marx, Pramoedya, Tan Malaka dan sejenisnya, apalagi kalau sampai kutipannya ditampilkan untuk mempertanyakan sistem kekuasaan. 

Media juga sama saja. Berita adalah profit. Jangankan nilai kebenaran, nilai kejujuran sekalipun menjadi nomer kesekian jauh dibawah kebutuhan profit.

Mekanisme natural penerusan ilmu lewat lembaga pendidikan dan media yang cenderung telah kehilangan fungsi tanggungjawab publik profesionalitasnya inilah yang lantas menjadi lahan empuk diperalat oleh koalisi politisi dan korporasi untuk mengabarkan bahwa merekalah juru selamat dari segala problem kemanusiaan.

Sistem pendidikan, media, dan koalisi politisi dan korporasi inilah yang sekarang paling gencar menjadi pewarta. Mereka bahkan menyusun sistem keabsahan, mengontrol cara kerjanya, dan mengendalikan pesan-pesan apa yang perlu dan harus diketahui dan diyakini oleh masyarakat.

Lantas, ketika para pewarta asli telah tergantikan dan dikendalikan oleh para pewarta yang lebih full power seperti ini, apa jadinya pada sistem pemahaman dan praktek terhadap nilai komunal?

NILAI KOMUNAL VS INDIVIDUALISME

Atas nama nilai komunal, tidak jarang orang dengan mudah menghakimi dan mengutuk kreatifitas, inovasi, dan revolusi sikap personal sebagai egois, individualistis, dan tak tahu tata krama - budaya - tradisi - adat .... bla..bla..bla.. tetek bengek pembenar seolah nilai komunal itu pastilah benar dan paling menyelamatkan umat manusia. 

Untuk mengefektifkan fungsinya, nilai komunal juga lantas dikerdilkan maknanya menjadi dogma agama, kebiasaan etnis, bahkan cara sebuah adat dari trah tertentu saja. Maka keberagaman, perbedaan, pluralitas, diterima sejauh (menurut penguasa) tidak bertentangan dan merusak nilai komunal. Saya sebutkan penguasa, karena selalu jelas siapa penguasa agama, politik, ekonomi, bahkan penguasa etnis maupun adat trah tertentu. 

Efektifitas nilai komunal dalam semangat anti individualitas ternyata nampak ketika itu menjadi alat untuk memberangus, menekan, memaksa, mengontrol, mengendalikan, memotong, menghukum, atau bahkan membunuh kreatifitas keluasan berfikir secara berbeda dan keragaman cara orang berada.

Mekanisme nilai komunal yang dengan segera akan secara masif menggugah perasaan bersama, pikiran bersama, dan tindakan bersama itu ternyata hanya efektif ketika ditujukan untuk menghakimi, menyalahkan, menghukum, dan menundukkan orang menuruti kemauan komunal yang tentu sesuai dengan tekanan dan keinginan sang penguasa.

Ketika lalu lintas menjadi macet tak terkendali, apakah tawaran yang berangkat dari nilai komunal seperti diadakan angkutan masal mendapatkan perhatian penting para pewarta dan masyarakat umum? Ketika lingkungan alam secara sistematis dikapitalisasi dieksploitasi dilacurkan oleh birokrat terhadap korporasi, bagaimanakah komentar para pewarta dan masyarakat?

Lantas ketika hal-hal seperti terjadi terang-terangan dimata semua anggota masyarakat, apakah nilai komunal mampu menggerakkan perasaan, pikiran, dan tindakan mereka untuk merubahnya?

Kenyataan sebaliknya yang terjadi.

Merekrut orang untuk diajak marah dan mengumbar kebencian secara bersama-sama lebih mudah daripada meyakinkan orang untuk bertindak kebaikan.

Mengumpulkan orang untuk menebar sampah lebih mudah daripada mengumpulkan orang yang sadar bahaya sampah. Bahkan, orang dengan sukacita membayar mahal untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah pembuat dan pembuang sampah yang mahir.

Mengajak orang untuk bersikap arif terhadap ekologi akan menjumpai banyak musuh, sementara orang yang berusaha merusak dan mengkapitalisasikannya dengan cepat menemukan dukungan dari para pewarta-perusak dan masyarakat luas.

Coba rasakan dan lihat sendiri mekanisme terjadinya dan terwartakannya nilai-nilai komunal yang selama ini kita banggakan menjadi budaya bangsa.

Nilai komunal nampaknya hanya berfungsi jauh lebih efektif jika yang dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan itu berhubungan dengan hal-hal yang diliputi semangat kemarahan, perusakan, kebencian, penghancuran. 

Nah, kalau begitu adanya, apakah kita masih punya muka untuk membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidup berdasarkan nilai-nilai komunal?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun