Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) memahami, dan menggali hukum adat yang yang masih berlaku hukum adat. Pada kontek ini, hukum secara kepastian hukum dipertanyakan, menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum. Banyak kasus seserorang yang diproses di lembaga ada (peradilan adat), dan juga di proses hukum negara. Proses selama ini dengan MOU, dan diskresi Polri, MA, kejaksaan dalam proses hukum adat dan hukum negara untuk mencari proses penyelesaian hukum dengan win-win solution.
Namun praktek tidak semua aparat penegak hukum menjalankan, paham. Pada akhir kita menemukan konflik sosial, demostrasi, dan yurisprudensi hakim berdasarkan hukum adat, dan hakim tetap mengacu pada hukum positif (lihat putusan hak ulayat, hutan desa, tanah adat, kebiasaan adat). Analisa-analisa dari putusan hakim berbeda-beda, tergantung itu pokok permasalahan selama ini dari apabila Pasal 2 KUHP diberlakukan.
Kita memahami dengan diberlakukan Pasal 2 KUHP, ada dua hal yakni hukum negara dan hukum adat tidak saling berhadapan (berkonflik penerapan), tetapi saling bersinergi dalam membangun tertib dan tatanan sosial. KUHP Pasal 2 ayat (2) Â diatur lebih lanjut, tentu akan tumpang tindih aturan yang sudah ada. Pasal 2 KUHP, dalam keberlakuan tafsirnya bersifat temporiery, dalam kondisi tertentu dan tempat hukum adat yang hidup masih ada dalam masyarakat.
Sejatinya membaca norma dalam Pasal 2 KUHP, akan berkolarasi dengan frase yang ada dalam Pasal 601 yang menyebutkan
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana di maksud dalam  Pasal 66 ayat (1) huruf  F.
Pasal 66 ayat (1) huruf F KUHP
Pasal 2 KUHP, membacanya harus satu satu kesatuan dengan penjelasanya pasal. Jadi memahami jangan sepotong-potong, maka makna dan tafsrinya akan berbeda. Hal ini yang rawan penyalagunaan hukum demi kepentingan oknum. Penafsiran UU sebagai tafsir resmi sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011, yang dirubah UU No. 15 Tahun 2019 yang dirubah UU No.13 Tahun 2022. Tentang Perubahan Kedua UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Living law (hukum adat) yang diatur Pasal 2 KUHP, ini bentuk pengakuan masyarakat hukum adat, yang masih hidup dan taat pada hukum adat, bukan dalam kontek menghidupkan peradilan adat yang sudah dihapus. Ini untuk memperjelas, bahwa keberadan peradilan adat sudah dihapus oleh undang-undang, supaya tidak disalahtafsirkan. Peradilan adat hanya diakui di Papau, diatur dalam UU Otonomi khusus Papua, dan Aceh. Di daerah lain, yang memperlakukan peradilan adat, dalam kontek peradilan umum, hasil dari peradilan adat, hanya sebagai bukti (salah satu alat bukti). Hal ini harus jelas, rigid, dan ambigu memaknai.
Pengakuan hukum adat itu dibunyikan secara text, seharusnya secepat dibuat  aturan pelaksana terkait pengakuan hukum adat yang mana yang masih ada, dan diakui dengan perda, sehingga aparat penegak hukum mudah dalam penerapan hukum.
Selain itu harus diperhatikan apabila secara hukum adat dapat diselesaikan dengan hukum adat, tetapi apabila salah satu pihak menghendaki penyelesaian secara adat, namun pihak lain menginginkan penyelesaian secara hukum nasional sesuai dengan Pasal 454 sampai Pasal 455 KUHP, akan memberi penafsiran ketidakpastian hukum dan konflik dalam masyarakat. Ini juga akan menjadi problematikan dalam penerapan hukum KUHP ini.