Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang kental dengan peraturan adat yang ada pada setiap daerah atau bahkan kelompok masyarakat, dapat memberlakukan pemidanaan walaupun hal tersebut tidak diatur secara tertulis di dalam KUHP.
Penjelasan Pasal 2 KUHP ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan berlaku dalam tempat hukum itu hidup, adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 2 KUHP ayat (3)
Peraturan pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam peraturan daerah.
Pasal 2 KUHP, frase berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, ada pengakuan hukum yang tidak tertulis (hukum adat) yang berlaku di masyarakat, sehingga menyimpang dari asas legalitas. Hukum yang ada masyarakat tetap berlaku, walaupun tidak diatur dalam KUHP. Ini menjadi kontraduktif terhadap eksistensi KUHP yang menganut asas legalitas di Pasal 1 KUHP.
Keberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat, sejatinya merujuk Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 3 UUPA. Pada Pasal 10 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajkan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilnya. Asas legalitas itu, dapat disampingkan, apabila hukum menghendaki, dengan pembentukan hukum baru berupa yurisprudensi hakim. Hal ini, termasuk dalam menggali hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Wakil rakyat melihat, dan merasakan hukum yang berlaku masyarakat adat, itu wajib diakui. Pasal 2 KUHP itu mengakomendasi itu, untuk menghargai keberadaan hukum adat yang berlaku di masyarakat. Dua norma yang berbeda, namun harus diakomendasi, jadi tafsir memberi ketidakjelasan. Pengakuan dengan syarat, diakui harus dipenuhi kualifikasi syaratnya. Pada tataran penerapan, akan menjadi celah hukum dalam dan secara norma menimbulkan ketidakpastian hukum, dan diskriminatif.
Hukum itu text yang ada di undang-undang sebagai hukum positif. Hukum adat itu bisa tertulis dan bisa tidak tertulis, mamahami ini, pokok masalah dalam penerapan. Maka harus jelas kualifikasi, dan list hukum adat mana, masyarakat hukum adat yang sudah pengakuan di peraturan daerah yang sudah mengatur hukum adat, seperti disyaratkan Permendagri No.52 Tahun 2014. Hal ini penting, sudah jeals makna tafsir itu ambigu, akan dipergunakan oleh oknum aparat penegak hukum sesuai kepentingan. Hal-hal seperti ini, harus jelas dan perjelas dalam norma. Pasal 2 masih memberi syarat, pilihan, yang sama dengan permasalahan yang muncul bertahun-tahun tanpa ada solusi yang jelas, rigid, dan konkrit.
KUHP Pasal 2, pengakuan dengan syarat, dan syarat masih bersifat abstract, maka supaya tidak terjadi pro dan kontrak/kriminalisasi dalam tafsir hukum. Pada saat ini, segera dibuat paremeter ukuran pancasilan UUD NRI Tahun 1945 yang living law (hukum adat) yang dapat diberlakukan dan diperjelas kualifikasi yang sudah diakui itu bagaimana.
Pentingnya hukum adat merupakan bentuk pengakuan atas hukum yang ada, ditaati oleh masyarakat hukum adat pada suatu daerah tertentu. Aparat penegak hukum yang ditugaskan di daerah yang masih berlaku hukum adat, ada hal-hal yang wajib ditaati. Pada tataran ini penerapan ada pembedanya dalam proses menyelesaikan masalah di masyarakat hukum adat, yang taat hukum adat.