Sebelum penulis membahas persoalan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terdahulu akan diulas tentang apa itu stunting dan penyebabnya. Stunting merupakan persoalan gizi kronis yang dialami oleh balita dan anak-anak. Persoalan ini disebabkan karena balita dan anak-anak tidak mendapatkan asupan gizi yang seharusnya dalam waktu yang cukup lama. Akibatnya balita dan anak-anak mengalami kekerdilan dengan ciri lebih pendek atau lebih ringan dibandingkan dengan anak-anak normal yang seusia.Â
Gizi  merupakan merupakan zat dasar yang dibutuhkan oleh tubuh untukpertumbuhan dan kesehatan. Setidaknya ada kurang lebih 5 macam zat gizi yang diperlukan oleh tubuh untuk kesehatan dan pertumbuhan yaitu: karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin.Â
Karbohidrat merupakan sumber energi bagi tubuh yang digunakan untuk beraktivitas. Karbohidrat bersumber dari biji-bijian seperti padi, jagung, gandum, jelai, umbi-umbian seperti kentang, singkong dan ubi jalar, buah-buahan seperti pisang, alpukat, semangka, dan lain-lain.Â
Lemak bermanfaat untuk menyokong pertumbuhan badan karena dapat menambah sel baru pada tubuh. Lemak bersumber dari makanan seperti ikan, telur, alpukat, kacang-kacangan, coklat, minyak, tahu, kelapa dan minyak kelapa.Â
Protein bermanfaat untuk mengganti jaringan tubuh yang rusak atau aus seperti luka, terlkilir dan sebagainya. Protein bersumber dari daging, kacang-kacangan, kacang kedelai, brokoli, ikan, telur, dan makanan dari produk susu.Â
Mineral bermanfaat untuk mengatur metabolisme dan keseimbangan dalam cairan tubuh. Sumber mineral yaitu telur, kerang, alpukat, kacang-kacangan, ikan, sayuran hijau, buah-buahan. Â
Vitamin bermanfaat dalam menyusun pertahanan tubuh untuk melawan penyakit dan anti oksidan. Sumber vitamin kebanyakan berasal dari buah-buahan dan sayur-sayuran.Â
Ke-lima zat gizi tersebut jika diberikan secara seimbang kepada balita dan anak-anak, maka persoalan stunting dapat diatasi dengan baik. Tentunya harus sesuai dengan porsi yang dibutuhkan oleh tubuh atau tidak berlebihan. Karena jika dikonsumsi berlebihan, maka  akan memunculkan persoalan baru, yakni obesitas dan lain-lain. Â
Penanganan kasus stunting harus dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dalam kandungan. Artinya sejak dalam kandungan mulai dari umur 0 hari hingga menjadi anak-anak, asupan gizi yang diperoleh harus cukup dan seimbang. Ketika bayi masih ada dalam kandungan ibu hamil bertanggungjawab terhadap asupan gizinya. Artinya bahwa sang ibu perlu memperhatikan keseimbangan gizi makanan yang dikonsumsinya.Â
Salah satu fase krusial yang perlu diperhatikan dalam pencegahan stunting adalah pada 1000 hari pertama sejak seorang insan manusia terbentuk. Dilansir dari web fakultas kedokteran Universitas Indonesia, pencegahan stunting seharusnya dimulai dari 1000 hari pertama kehidupan anak. Hal ini penting karena pada fase tersebut merupakan fase paling menentukan bagi pertumbuhan anak baik itu secara fisik dan kognitif.Â
Jika tidak diperhatikan dengan baik, maka anak akan mengalami stunting dan memiliki kemampuan kognitif yang rendah. Perhatian yang dimaksud adalah kecukupan asupan gizi baik pada ibu hamil dan saat anak sudah lahir dalam bentuk pola pemberian ASI yang baik dan makanan pendamping ASI yang seimbang gizinya. 1000 hari pertama disebut paling menentukan bagi perkembangan selanjutnya dari seorang anak.Â
Dengan memperhatikan bagian ini, maka kita akan menghasilkan generasi yang tidak hanya sehat secara fisik tetapi juga secara mental dan kognitif.Â
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa gizi seimbang tidak perlu lagi diperhatikan setelah 1000 hari pertama seorang anak. Keseimbangan gizi ini harus terus diperhatikan agar anak tetap tumbuh sehat secara jasmani dan cerdas secara intelektual.Â
NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang paling tinggi angka stuntingnya. Kepada Jawa Pos pada tanggal 26 Oktober 2021, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengatakan bahwa NTT merupakan penyumbang tertinggi angka stunting diikuti Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Gorontalo, Kalimantan Selatan, kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Â
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT dr. Meserasi Ataupah seperti yang dilansir dari Warta Sasando.com tanggal 10 September 2021 mengatakan bahwa persentase stunting di NTT menurun dalam 3 tahun terakhir dari 42,6% tahun 2018, 27,67% tahun 2020 dan menjadi 24,2% di tahun 2021.Â
Meskipun demikian, ia mangatakan bahwa angkanya masih tinggi. Pengakuan ini menunjukkan bahwa salah satu persoalan sosial di NTT yang perlu diatasi adalah persoalan stunting.Â
Penyebab utama stunting tentu adalah masalah keseimbangan gizi. Namun penyebab mengapa keseimbangan gizi anak tidak terpenuhi merupakan persoalan yang sangat kompleks dan berasal dari berbagai aspek seperti pendidikan, ekonomi, geografis, politik, iklim, pola perilaku, dan sebagainya.Â
Hal ini berarti bahwa, penanganan stunting harus dilihat dari berbagai aspek dan melibatkan banyak pihak. Menurut hemat penulis, tingginya angka stunting di NTT disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah:
Kemarau Panjang di NTT
Tidak seperti daerah lain di Indonesia, mayoritas wilayah di NTT mengalami musim hujan dalam jangka waktu singkat yakni kurang lebih 3 bulan dalam setahun di akhir bulan Desember hingga pertengahan bulan Maret.Â
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar wilayah NTT mengalami kekeringan dalam waktu yang cukup lama.Â
Menurut data BPS 2021, jumlah penduduk NTT yang berprofesi sebagai petani adalah sebesar 51,43% atau sebanyak 1,40 juta orang. Kita tentu tahu bersama bahwa air merupakan nadi di bidang pertanian. Artinya bahwa petani sangat bergantung pada ketersediaan air untuk mengairi tanaman.Â
Ketersediaan air sangat menentukan hasil pertanian yang secara tidak langsung menetukan kesejahteraan para petani.Â
Kondisi iklim ini, yakni kemarau panjang sangat tidak mendukung profesi mayoritas masyarakat NTT sebagai petani. Inilah mengapa petani di NTT dianggap masyarakat kelas bawah dan profesi petani dianggap profesi yang tidak menjanjikan.Â
Hal ini karena menjadi petani di NTT merupakan pekerjaan yang sulit dan berat namun mendatangkan hasil yang tidak setimpal. Hal lain adalah petani di NTT hanya akan menanam 1 kali dalam satu tahun yaitu hanya pada musim hujan. Hal ini menyebabkan hasil tanam seperti jagung, padi dan umbi-umbian terkadang tidak cukup sampai musim panen selanjutnya.Â
Kekeringan ini juga menyebabkan akses terhadap zat gizi sangat terbatas terutama seperti sayur-sayuran hijau dan buah-buahan terutama di musim kemarau.Â
Sering ditemukan bahwa kebanyakan masyarakat hanya akan makan jagung atau nasi hanya dengan garam tanpa sayur. Sekedar untuk mengisi perut yang sedang lapar saja. Bagi penulis, kemarau panjang inilah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan stunting di NTT tertinggi hingga saat ini.Â
Persoalan ini sudah menjadi perhatian pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Jokowi. Hingga saat ini, terdapat 7 bendungan yang dibangun di NTT, tersebar di Pulua Timor, Flores dan Sumba.Â
Di Pulau Timor sendiri, ada 5 bendungan besar yang dibangun diantaranya adalah bendungan Raknamo, Manikin, Temef, Rotiklot dan rencananya bendungan Kolhua.Â
Semoga dengan pembangunan bendungan ini, persoalan kemarau panjang yang menjadi momok bagi petani NTT dapat diatasi. Jika persoalan air diatasi, diharapkan secara tidak langsung persoalan stunting dapat diatasi juga.Â
Kemiskinan dan pembangunan yang tidak merata
NTT merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan nomor 3 terbesar di Indonesia. Menurut penulis, kemiskinan ini juga sangat terkait dengan kemarau panjang yang diuraikan di atas.Â
Selain itu, kemiskinan terjadi sebagai akibat dari pembangunan yang kurang merata di NTT seperti infrastruktur jalan dan jembatan serta fasilitas dan layanan kesehatan dan pendidikan.Â
Kemiskinan inilah yang menyebabkan mayoritas masyarakat NTT tidak sanggup untuk mendapatkan sumber-sumber makanan yang mengadung zat gizi yang dibutuhkan. Harus diakui bahwa anak-anak yang mengalami stunting mayoritas bearasal dari keluarga miskin dan tingkat pendidikan yang rendah.Â
Pola pikir masyarakat tentang kebutuhan gizi
Harus diakui bahwa salah satu penyebab stunting di NTT adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang pola asuh anak dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi anak yang seimbang.Â
Pengalaman penulis ketika dibesarkan di kampung terpencil di NTT, makanan seperti daging, telur, ikan, udang, bahkan madu dan susu dipahami hanya sebatas rasa atau lezat di lidah. Makanan tersebut hanya dipahami sebagai peningkat nafsu makan saja tanpa melihat manfaat lebihnya yaitu gizi.Â
Sebagai contoh: jika ada daging atau ikan, maka sayur tidak perlu dihidangkan saat makan. Bayangkan jika stok daging tersedia hingga 1 bulan, maka sayur juga bisa saja tidak tersedia 1 bulan meskipun sayur-sayuran bisa diakses dengan mudah.
Karena daging sudah lebih dari cukup untuk mendatangkan rasa di lidah yang lezat dan meningkatkan nafsu makan. Padahal keseimbangan gizi itu penting yang seharusnya sayur juga dihidangkan.Â
Penulis berpendapat bahwa pola pikir merupakan salah satu penyebab tingginya stunting di NTT. Untuk persoalan pemahaman kebutuhan gizi saja masih kurang, apalagi terkait fase 1000 hari pertama, pola asuh anak seperti pemberian ASI ekslusif, 2 tahun ASI bagi anak, sanitasi sehat dan lain sebagainya.Â
Faktor ini dapat diatasi melalui pendidikan atau penyuluhan bagi masyarakat dengan melibatkan banyak pihak seperti sekolah, pemerintah, lembaga keagamaan dan LSM.Â
Derajat pangan lokal
NTT kaya akan pangan lokal yang mungkin saja kaya gizi seperti umbi-umbian di hutan yang tumbuh sendiri tanpa ditanam. Penulis teringat di tahun 1995, ketika terjadi kekeringan di NTT, "umbi hutan" atau dalam sebutan bahasa dawan "lauk fuij" menjadi makanan utama hampir setiap hari.Â
Rasanya enak, empuk dan manis. Sampai saat ini penulis tidak tahu persis apa kandungan umbi hutan tersebut. Belum lagi porang yang tumbuh liar di bawah pepohonan yang oleh negara lain di Cina dan jepang dijadikan sebagai makanan pokok pengganti beras.
Makanan-makanan lokal tersebut hanya perlu untuk dipromosikan sehingga menjadi "setara" dengan nasi di hadapan masyarakat.Â
Namun demikian sentuhan ilmu pengetahuan terhadap pangan-pangan lokal tersebut perlu dilakukan sebelum dipromosikan atau disosialisasikan kepada masyarakat.Â
Dengan demikian pangan-pangan lokal ini dapat diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis sumber zat gizi. Intinya adalah penanganan stunting berbasis potensi lokal. Â
Kelor sebagai alternatif pemenuhan gizi?
Di tengah-tengah persoalan stunting di NTT, ada keajaiban yang Tuhan berikan. Menurut riset, kelor merupakan tumbuhan yang kaya akan zat gizi. Hampir semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dimiliki oleh kelor.Â
Kandungan gizi kelor dapat dibaca di sini. World Health Organization menobatkan kelor sebagai miracle tree atau pohon ajaib oleh karena kandungan gizinya yang komplit. Â Karena itu kelor dapat dimanfaatkan untuk pangan dan pengobatan.Â
Ajaibnya lagi, tanaman kelor tumbuh baik di NTT meskipun kurang air. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kelor yang tumbuh di pulau Timor NTT merupakan salah satu yang terbaik di dunia.Â
Di sini penulis mengagumi kemahakuasaan dan keadilan Tuhan. Di tengah-tengah peliknya persoalan kekeringan, kemiskinan, dan stunting, Tuhan mengijinkan pohon ajaib ini tumbuh dengan baik bahkan terbaik di dunia. Bahwa jika Tuhan mengijinkan masalah pada saat yang sama juga Ia menawarkan solusi.Â
Pentingnya mengonsumsi kelor hanya perlu untuk disosialisasikan lagi ke masyarakat. Demikian juga tentang bagaimana mengolahnya menjadi produk makanan yang bervariasi sehingga tidak monoton dan membosankan.
Namun bagi penulis mengkonsumsi kelor perlu dibangun untuk menjadi kebiasaan di lidah. Kebiasaan tersebut bisa dibangun jika masyarakat memahami dengan baik nilai-nilai gizi yang dikandung kelor.Â
Gubernut NTT saat ini pernah menggaungkan NTT sebagai provinsi kelor. Banyak masyarakat yang sudah mengenal kelor bahkan sebelum digaungkan oleh gubernur NTT. Namun pemanfaatannya perlu diatur dan dikontrol oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait sehingga tidak terkesan hanya asal bunyi saja.Â
Memerangi stunting sama dengan menciptakan generasi penerus yang kuat, sehat dan cerdas. Oleh karena itu mencegah stunting bagi penulis adalah setara dengan memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Bedanya adalah dulu melawan penjajahan bangsa lain, sekarang melawan gizi buruk.Â
Salam Sehat!
by: Kostan D. F. Mataubenu
Sumber: 1), 2), 3), 4), 5), 6), 7), 8), 9)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H