Pengalaman penulis ketika dibesarkan di kampung terpencil di NTT, makanan seperti daging, telur, ikan, udang, bahkan madu dan susu dipahami hanya sebatas rasa atau lezat di lidah. Makanan tersebut hanya dipahami sebagai peningkat nafsu makan saja tanpa melihat manfaat lebihnya yaitu gizi.Â
Sebagai contoh: jika ada daging atau ikan, maka sayur tidak perlu dihidangkan saat makan. Bayangkan jika stok daging tersedia hingga 1 bulan, maka sayur juga bisa saja tidak tersedia 1 bulan meskipun sayur-sayuran bisa diakses dengan mudah.
Karena daging sudah lebih dari cukup untuk mendatangkan rasa di lidah yang lezat dan meningkatkan nafsu makan. Padahal keseimbangan gizi itu penting yang seharusnya sayur juga dihidangkan.Â
Penulis berpendapat bahwa pola pikir merupakan salah satu penyebab tingginya stunting di NTT. Untuk persoalan pemahaman kebutuhan gizi saja masih kurang, apalagi terkait fase 1000 hari pertama, pola asuh anak seperti pemberian ASI ekslusif, 2 tahun ASI bagi anak, sanitasi sehat dan lain sebagainya.Â
Faktor ini dapat diatasi melalui pendidikan atau penyuluhan bagi masyarakat dengan melibatkan banyak pihak seperti sekolah, pemerintah, lembaga keagamaan dan LSM.Â
Derajat pangan lokal
NTT kaya akan pangan lokal yang mungkin saja kaya gizi seperti umbi-umbian di hutan yang tumbuh sendiri tanpa ditanam. Penulis teringat di tahun 1995, ketika terjadi kekeringan di NTT, "umbi hutan" atau dalam sebutan bahasa dawan "lauk fuij" menjadi makanan utama hampir setiap hari.Â
Rasanya enak, empuk dan manis. Sampai saat ini penulis tidak tahu persis apa kandungan umbi hutan tersebut. Belum lagi porang yang tumbuh liar di bawah pepohonan yang oleh negara lain di Cina dan jepang dijadikan sebagai makanan pokok pengganti beras.
Makanan-makanan lokal tersebut hanya perlu untuk dipromosikan sehingga menjadi "setara" dengan nasi di hadapan masyarakat.Â
Namun demikian sentuhan ilmu pengetahuan terhadap pangan-pangan lokal tersebut perlu dilakukan sebelum dipromosikan atau disosialisasikan kepada masyarakat.Â
Dengan demikian pangan-pangan lokal ini dapat diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis sumber zat gizi. Intinya adalah penanganan stunting berbasis potensi lokal. Â
Kelor sebagai alternatif pemenuhan gizi?
Di tengah-tengah persoalan stunting di NTT, ada keajaiban yang Tuhan berikan. Menurut riset, kelor merupakan tumbuhan yang kaya akan zat gizi. Hampir semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dimiliki oleh kelor.Â