“Entahlah.”
“Ayolah, ceritakan. Apa yang kau risaukan, Naldin?
“Apakah hanya Naldin dalam otakmu? Jangan-jangan kau yang suka ya, pada dia? Ayo jawab!”
“Kau cemburu? Rahma mengejek.
“Cemburu?”
“Ayolah ngaku! Kalau tidak…”
“Apa?” Tampak raut wajah Ayati mulai meradang.
Rahma melihat ada sesuatu yang lain dari diri Ayati selain kecerdikannya. Ia membayangkan kisah cinta Fatimah Az-zahra kepada Ali bin Abi Thalib. Apakah betul, Ayati hanya mencintai Naldin dalam diamnya? Entahlah. Mungkin hanya pikiranku saja. Tetapi, kenapa ia begitu terusik ketika nama lelaki itu terus-terusan kumuntahkan pada pikirannya? Ia pasti jatuh cinta, hanya saja ia malu berlaku jujur perihal masalah hatinya.
***
Hampir dua jam lamanya mereka duduk bergeming seperti lembu lapar. Mendengarkan kata demi kata yang terus melompat keluar dari salah satu pembicara. “Orang yang berkeinginan memperbudak sesamanya berarti berkeinginan menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah.” Katanya dengan wajah berseri-seri, menyakinkan. Sebagian menikmati, sebagiannya lagi menahan-nahan kantuk. Semuanya begitu membosankan dan hambar. Tetapi tidak dengan dua sejoli ini, Naldin dan Ayati.
“Hmmmm.” Ayati mengangguk-ngangguk.