Mohon tunggu...
Udin
Udin Mohon Tunggu... Lainnya - Amadaki-amadakimo arataa, solana bholi o karo.

Menulislah, seperti anda sedang bertutur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayati

14 Januari 2021   21:26 Diperbarui: 14 Januari 2021   21:50 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama tidak boleh hanya berhenti sampai pada urusan akhirat, namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan masalah duniawi. Agama harus dapat menjaga relevansinya.” Wanita yang dikenal dengan ketangkasannya itu, mulai berpidato bak orator ulung. Semuanya tunduk-menunduk setelah melihat gelagat Ayati. Ia benar-benar wanita yang sigap dan berani, tak terbelenggu sedikit pun dengan hegemoni patriarki.

Melihat Ayati dengan kelincahannya dalam melipat kata-kata, sontak membuat para peserta lelaki berdecak kagum. Ada yang malu. Ada juga yang memanfaatkan kesempatan mendokumentasikan segala bentuk yang menempel pada diri Ayati. Tetapi, hal itu tak membuat Naldin kecantol sedikit pun. Lelaki itu begitu dingin, sungkan dengan persoalan perempuan. Yang terlintas dalam pikiranya hanyalah Al-Qur`an, cita-cita dan orang tua. Terlihat jelas, ketika Naldin hanya menaruh perhatian pada isi pembicaraan dari pemateri.

“Bagaimana mungkin, Naldin tak terperangah dengan kecantikan dan kecerdasanmu?” Rahma bertanya lirih ke Ayati, sambil memilin-milin ujung hijabnya.

“Hus!!!” Ayati sontak menjawabnya dengan ketus. Sembari menjatuhkan tubuhnya ke kursi.

“Kau tak suka ya, pada Naldin?” Rahma bertanya nyinyir.

“Hus, diam!” Sahut Ayati dengan wajah tersipu malu. Sesekali ia mencuri pandang ke Naldin dari kejauhan.

***

Seminar pagi itu memang menjadi surganya para lelaki. Bagaimana tidak. Setelah terkungkung dalam asrama selama berhari-hari. Membuat hampir semua lelaki bejat bertopeng agama, mulai kehausan. Mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Semuanya mendelik kebingungan. Terhuyung-huyung. Seolah-olah tak pernah melihat kaum betina berekspresi dan berpendapat di tempat umum.

Setelah bersungut-sungut di depan panggung. Ayati merasa berhasil setelah menceramahi para lelaki yang sok bermoral, dan tak pernah menggubris kaum lemah dan tertindas itu. Bukannya Al-Qur`an telah menjelaskan hal demikian? Lantas apa yang terdapat di dalam Surah An-Nisa, ayat 75 hanya bualan semata? 

Apa yang terbesit dalam pikiran mereka? Apakah hanya duduk bersimpuh di pelataran masjid bisa membuat mereka begitu luhur? Semuanya hadir dalam pikiran Ayati. Ia pun bergidik. Rasa takut sering bertandang dalam mimpinya. Bagaimana jadinya, jikalau suatu hari cintanya terpatri pada seorang lelaki yang doyan cari aman dan egois seperti itu? Mudah-mudahan Naldin bukan tipe seperti itu.

“Kau kenapa, Ayati?” Rahma bertanya bisik.

“Entahlah.”

“Ayolah, ceritakan. Apa yang kau risaukan, Naldin?

“Apakah hanya Naldin dalam otakmu? Jangan-jangan kau yang suka ya, pada dia? Ayo jawab!”

“Kau cemburu? Rahma mengejek.

“Cemburu?”

“Ayolah ngaku! Kalau tidak…”

“Apa?” Tampak raut wajah Ayati mulai meradang.

Rahma melihat ada sesuatu yang lain dari diri Ayati selain kecerdikannya. Ia membayangkan kisah cinta Fatimah Az-zahra kepada Ali bin Abi Thalib. Apakah betul, Ayati hanya mencintai Naldin dalam diamnya? Entahlah. Mungkin hanya pikiranku saja. Tetapi, kenapa ia begitu terusik ketika nama lelaki itu terus-terusan kumuntahkan pada pikirannya? Ia pasti jatuh cinta, hanya saja ia malu berlaku jujur perihal masalah hatinya.

***

Hampir dua jam lamanya mereka duduk bergeming seperti lembu lapar. Mendengarkan kata demi kata yang terus melompat keluar dari salah satu pembicara. “Orang yang berkeinginan memperbudak sesamanya berarti berkeinginan menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah.” Katanya dengan wajah berseri-seri, menyakinkan. Sebagian menikmati, sebagiannya lagi menahan-nahan kantuk. Semuanya begitu membosankan dan hambar. Tetapi tidak dengan dua sejoli ini, Naldin dan Ayati.

“Hmmmm.” Ayati mengangguk-ngangguk.

“Kau paham?” Tanya Rahma penuh kebingungan.

“Kau?” sahut ayati

“Tidak, hehehe.”

Ayati tak membalasnya. Ia hanya bergumam sembari menghayati isi materi. Matanya mendelik tajam. Bak belati yang sering digosok dan siap melukai.

Dibalik tempat duduknya, dua sosok perempuan sedang bergunjing. Pembicaraan mereka terdengar lirih, tetapi suka menusuk. Ayati begitu terusik mendengar pembicaran dua perempuan disela-sela acara sedang berjalan itu.

“Halah! Kau tak akan paham dengan tingkah laku si Naldin. Konon saya pernah mendengar cerita, bahwa ia senang bermain perempuan. Banyak temanku yang menjadi korban. Buktinya, Nisa. Ia bahkan sampai sekarang memikirkan masalalunya dengan Naldin. Bayangkan, hampir setiap malam ia merintih, merengek-rengek kepadaku. Memintaku menyampaikan rindunya kepada lelaki bejat itu. Aku kasihan padanya. Ia perempuan yang bahkan tak bisa mencangkuli masa lalunya. Memang sih, dari tampangnya memang menjanjikan untuk memperbaiki keturunan kita. Tapi, ganteng dan kaya saja tak cukup, kan? Saya juga begitu yakin, jikalau semua perempuan yang pernah mendekap padanya, pasti tersihir.

“Kau juga?” tanya temannya.

“Oalah! Haram hukumnya. Kata ibuku, perempuan yang baik itu, hanya untuk lelaki yang baik pula.”

“Lalu, Fir`aun dengan Asiyah? Temannya bertanya dengan wajah penuh kebingungan.

“Sudalah! Malas.”

“Hehehe.”

Ayati hanya bergeming setelah menyerap semua yang dibicarakan oleh mereka. Mungkinkan lelaki yang menggairahkan itu berlaku demikian? Apa yang ada dalam pikirannya? Apakah hanya kesenangan semata? Ataukah hanya untuk memenuhi libido seksualnya? Dalam pikiran Ayati, tampak semuanya begitu samar-samar. Tetapi sebagai perempuan yang bebas dan merdeka, Ayati akan menentukan pilihannya. Apakah terbelenggu dengan pandangan orang lain, ataukah tetap mencintai dengan segala konsukuensinya. Ayati merasa berhak atas pikiran dan tubuhnya itu. Kini ayati begitu larut dengan pikirannya sendiri.

Lantas terdengar suara serak-serak basah menggema, begitu nyaring. Suara itu mampu memenuhi segala sudut ruangan. Semuanya sontak mendelik kepadanya. Lelaki yang diidamkan Ayati itu, tetap tenang dengan menenteng Al-Qur`an di tanganya. Matanya dipenuhi kepercayaan diri. Ia berdiri tegak, gagah dan berani. Kata-katanya terus melayang-layang. Ia mungkin paham betul dengan suatu pepatah, Anjing menggongong, kafilah berlalu.

“Lihatlah ia. Ia begitu manis bila dipandang. Iya kan, Rahma?” dengan spontan ia memuji sosok idamannya.

“Sudah kuduga. Kau pasti jatuh hati padanya!” Sahut Rahma sembari menengok raut wajah Ayati yang sedang riang gembira itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun