“Kau paham?” Tanya Rahma penuh kebingungan.
“Kau?” sahut ayati
“Tidak, hehehe.”
Ayati tak membalasnya. Ia hanya bergumam sembari menghayati isi materi. Matanya mendelik tajam. Bak belati yang sering digosok dan siap melukai.
Dibalik tempat duduknya, dua sosok perempuan sedang bergunjing. Pembicaraan mereka terdengar lirih, tetapi suka menusuk. Ayati begitu terusik mendengar pembicaran dua perempuan disela-sela acara sedang berjalan itu.
“Halah! Kau tak akan paham dengan tingkah laku si Naldin. Konon saya pernah mendengar cerita, bahwa ia senang bermain perempuan. Banyak temanku yang menjadi korban. Buktinya, Nisa. Ia bahkan sampai sekarang memikirkan masalalunya dengan Naldin. Bayangkan, hampir setiap malam ia merintih, merengek-rengek kepadaku. Memintaku menyampaikan rindunya kepada lelaki bejat itu. Aku kasihan padanya. Ia perempuan yang bahkan tak bisa mencangkuli masa lalunya. Memang sih, dari tampangnya memang menjanjikan untuk memperbaiki keturunan kita. Tapi, ganteng dan kaya saja tak cukup, kan? Saya juga begitu yakin, jikalau semua perempuan yang pernah mendekap padanya, pasti tersihir.
“Kau juga?” tanya temannya.
“Oalah! Haram hukumnya. Kata ibuku, perempuan yang baik itu, hanya untuk lelaki yang baik pula.”
“Lalu, Fir`aun dengan Asiyah? Temannya bertanya dengan wajah penuh kebingungan.
“Sudalah! Malas.”
“Hehehe.”