Oleh: Kosmas Mus Guntur, Aktivis PMKRI
Belum sebulan usia pelantikan, pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin secepat kilat memberikan "hadiah" untuk bumi Papua, yakni pemekaran wilayah Provinsi baru. Wacana pemekaran provinsi di Bumi Cendrawasih ini berawal Presiden Joko Widodo bertemu dengan sejumlah tokoh Papua di Istanah Negara, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun penulis, sebanyak 61 tokoh Papua yang dipimpin oleh Abisai Rol lo meminta Bumi Cenderawasih terbagi hingga 5 provinsi, selain Papua dan Papua Barat.
Namun dalam pertemuan itu, seperti yang dilansir Tirto.id, Presiden Jokowi hanya mengakomodir pemekaran Papua terbagi dalam 2-3 wilayah saja. Untuk diketahui, Abisai Rollo adalah politikus Partai Golongan Karya (Golkar) yang menjabat sebagai Ketua DPRD Jayapura. Uniknya, pada masa pilpres 2019 kemarin, Abisai adalah ketua tim kampanye daerah Jokowi-Ma'ruf di Jayapura.
Polemik seputar pemekaran wilayah Papua akhir-akhir ini makin mencuat ke publik. Pasalnya, di Papua itu sendiri, menolak upaya pemekaran yang diwacanakan oleh Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Menurut mereka, pemekaran Papua harus merujuk pada Otonomi Khusus (Otsusus).
Mirisnya, ditengah carut marut persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kemudian akarnya adalah ditanah Papua itu sendiri Pemerintahan Jokowi malah mewacanakan Pemekaran. Hemat penulis, pemerintah dalam hal ini, Joko Widodo-Ma'ruf Amin tak mampu mengatasi persoalan kemanusiaan di tanah Papua.
Bak gayung disambut pernyataan yang paling menyesatkan juga datang dari Kemendagri yang menjabat sejak 23 Oktober 2019 pada "Kabinet Indonesia Maju" Jokowi-Ma'ruf adalah Tito Karnavian. Pasalnya, wacana pemekaran wilayah Papua karena situasional dan berdasarkan data intelejen. Jika memang demikian, apakah wacana pemekaran tersebut berdasarkan kemauan masyarakat Papua itu sendiri?
Pemekaran wilayah Papua, apakah untuk menjawab segala macam polemik yang terjadi di Papua? Ataukah untuk kepentingan Para Pemodal dalam hal ini adalah kaum kapitalis yang sudah mengakar sampai pada masyarakat akar rumput?
Mulai dari pertanyaan-pertanyaan yang mendasar itu, penulis seperti terpanggil untuk mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi sekaligus mengajak khalayak untuk melihat situasional dan menilik upaya pemekaran wilayah Papua tersebut, yang katanya upaya pemekaran wilayahy Papua adalah membuka wilayah Papua dari keterisolasian.
Seperti judul yang diramu penulis di atas, "Papua Dalam Potret Buram Pemekaran Daerah Otonom Baru". Kata 'buram' yang dimaksud penulis adalah dalam konteks konsep pembangunan. Dimana menurut penulis saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan wacana pemekaran terhadap wilayahnya. Melainkan butuh tindakan konkrit terkait persoalan HAM.
Melalui tulisan ini pula, penulis hendak menilik lebih jauh geliat pemerintah pusat yang terlalu gegabah memekarkan wilayah Papua. Pada prinsipnya, untuk memekarkan suatu wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten, mestinya berdasarkan "aspirasi rakyat" bukan berdasarkan "analisis Intelejen" atau berdasarkan faktor politik intelejen!
Apa itu Pemekaran Daerah?
Secara defenisi, pemekaran daerah adalah proses memecah sebuah provinsi, atau kabupaten ataupun kota menjadi dua wilayah terotorial (atau lebih) yang baru. Menurut Poerwadarminta, pemekaran daerah adalah memisahkan suatu bagian wilayah yang merupakan satu kesatuan yang utuh menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri, (2005). Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan. "Pemecahan daerah Kabuapten/kota atau provinsi untuk menjadi dua atau lebih daerah yang baru".
Hemat penulis, salah satu dari tujuan untuk memekarkan suatu wilayah atau daerah adalah guna untuk mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, mestinya salah satu rekomendasi yang mutlak adalah berdasarkan suara rakyat dari daerah pemekaran itu sendiri, bukan berdasarkan analisis kepentingan-kepentingan tertentu ataupun politis. Lebih fatal lagi jika merujuk pada analisis "Intelejen". Karena sejatinya rakyatlah yang berkuasa.
Selain itu juga, perlu memenuhi peryaratan administrasi sesuai bunyi Pasal 4 dan 5 PP No. 78/2007. Syarat dari pemekaran provinsi atau kabupaten/kota haruslah memenuhi syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan. Dan kemudian harus ada persetujuan bersama antara DPRD dengan Kepala Daearah.
Kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang dilakukan pemekaran maupun penggabungan daerah.Â
Aturan ini dalam praktinya, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengusulkan pemekaran daerahnya. Sejak 2014, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerima 315 surat dan dokumen terkait dengan pembentukan daerah otonomi baru dari seluruh wilayah di Indonesia, seperti yang dilansir Kabar24.com, wacana pemekaran memang mencitaptakan problematika dilematis dalam implementasi kebijakan otonomi.Â
Disatu sisi, pemekaran daerah mengandung ide pemerataan pembangunan termasuk dalam rangka mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Disisi lain, pemekaran daerah juga mengakibatnkan membengkaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk situasi Papua, penulis mengkawatirkan, pemekaran wilayah Papua nantinya dapat mengakibatkan bahwa daerah yang baru dimekartkan itu justru menjadi terbelakang dan dapat menimbulkan persolan baru seperti; pendidikan, kemiskinan, sosial, hukum dan politik. Sehingga tidak menunjang pembangunan nasional.
Pro Kontra Wacana Pemekaran Papua
Rencana pemekaran provinsi di Papua masih terus bergulir hingga menuai pro dan kontra. Pemerintah Provinsi Papua pun ikut menanggapi rencana pemekaran tersebut.Â
Diberitakan di laman kompas.com pada, Kamis (7/11/2019). Sekretaris Daerah (sekda) Provinsi Papua Hery Dosinaen menilai, usulan tersebut sah-sah saja, asal dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
Khususnya merujuk pada amanat Undang-undang Otsus. Ia menyebutkan, dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua disebutkan bahwa; pemekaran Provinsi Papua dilakukan atas pertsetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) Papua. Lebih lanjut Ia menegaskan, pemekaran juga harus memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya.
Septianus George Saa, dalam opininya yang dilansir WEKONEWS.COM berjudul; "akar Rumput Papua tidak Minta Pemekaran, lalu Kenapa Negara atau Elit Papua mau Paksakan?Â
Dalam opininya itu, Ia menegaskan bahwa pemekaran Provinsi Papua tidak didasari oleh keinginan rakyat Papua itu sendiri. Ia melihatnya lebih kepada kehendak dari negara. Lebih tegas Ia mengatakan bahwa ini bentuk solusi "baku tipu" diatas tanah Papua. Menurut Pria pemenang lomba First Step to Nobel in Physics pada tahun 2004 ini.
Pemekaran adalah upaya "mempercepat" marginalisasi dan kematian pelan-pelan orang Papua yang saat ini di hadang habis-habis ketika mereka maju menyuarakan apa yang menjadi kehendak dan keinginan luhur mereka. Bahkan dia juga mengajak masyartakat Papua agar jangan menjadi "biang keladi" kehancuran orang Papua di masa depan.
Selain George Saa, Dosen Ilmu Pemerintahan Universiats Cendrawasih, Diego Romario de Fretes, justru mengkhawatirkan pemekaran yang direncanakan pemerintahan Jokowi. Ia menialinya, pemekaran itu justru akan menimbulkan potensi konflik baru, terutama antara militer dan masyarakat.
Hal itu didasarkan atas kemungkinan pembangunan markas militer dan kantor kepolisian baru sebagai dampak dari pemekaran ini. "menurut masyarakat yang saya temui, mereka takut, mereka ada bayang-bayang militer," tegasnya seperti dilansir Kompas.com Jumat (1/11/2019).
Disisi lain, Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK)Fisipol UGM serta Gugus Tugas Papua UGM menjalin kerja sama dengan Tim Pembentukan Provinsi Papua Tengah seperti yang dilansir lama berita ugm.ac.id pada, Sabtu (2/11/2019)
Ketua Tim Pembentukan Provinsi Papua Tengah sekaligus Bupati Nabire, Isais Douw dalam keterangannya seperti yang dilansir ugm.ic.id mengatakan, kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari deklarasi tujuh bupati di wilayah Papua Tengah yang mendukung pembentukan Provinsi Papua Tengah.Â
"Kami datang bukan untuk kepentingan pribadi. Kami datang untuk kepentingan masyarakat kami, daerah kami. Perjuangan Provinsi Papua Tenga sudah bukan barang baru lagi. Sudah jalan 20 tahun. Masyarakat juga ingin menikati hasil bumi kami sendiri", pungkasnya. Untuk diketahui, ketujuh bupati tersebut yaitu, Bupaati Mimika, Nabire, Puncak, Intan Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengadakan sidang paripurna luar biasa. Dengan agenda pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Papua. Pansus beranggotakan 15 orang itu terdiri dari utusan empat komite, termasuk delapan senator dari Papua dan Papua Barat. Nantinya akan bekerja membantu pemerintah mencari solusi penyelesaian akar masalah di Papua.
Hemat penulis, pada dasarnya tujuan memekarkan suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota adalah baik. Yaitu untuk membuka wilayah yang terisolisir oleh pembangunan serta untuk mendekatkan pelayan pemerintah dengan rakyatnya. Namun, disisi lain kita juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti, kesepakatan dari masyarakat itu sendiri agar tidak dipandang sebagai kepentingan politis semata.
Untuk konteks pemekaran wilayah Papua. Penulis berpendapat, ditengah carut marut persoalan kemanusian di Papua itu sendiri yang berujung pada kematian seperti data yang dipaparkan oleh YLBHI. Bahwa pemerintah belum serius menangani dan atau mencari solusi apa yang menjadi akar persoalan kemanusian di Papua.
Penulis adalah Presidium Germas PMKRI Cabang Jakarta Timur, St. Petrus Kanisius dan Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Borobudur, Jakarta.
Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan oleh Aquinas Jogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H