Mohon tunggu...
Kosmas Mus Guntur
Kosmas Mus Guntur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis

Menjadi aktivis adalah panggilan hidup untuk mengabdi pada kaum tertindas. Dan menjadi salip untuk menebus Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Papua dalam Potret Buram Daerah Otonom Baru

6 Maret 2020   01:59 Diperbarui: 6 Maret 2020   02:06 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit Ilustrasi: Trito.id

Khususnya merujuk pada amanat Undang-undang Otsus. Ia menyebutkan, dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua disebutkan bahwa; pemekaran Provinsi Papua dilakukan atas pertsetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) Papua. Lebih lanjut Ia menegaskan, pemekaran juga harus memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya.

Septianus George Saa, dalam opininya yang dilansir WEKONEWS.COM berjudul; "akar Rumput Papua tidak Minta Pemekaran, lalu Kenapa Negara atau Elit Papua mau Paksakan? 

Dalam opininya itu, Ia menegaskan bahwa pemekaran Provinsi Papua tidak didasari oleh keinginan rakyat Papua itu sendiri. Ia melihatnya lebih kepada kehendak dari negara. Lebih tegas Ia mengatakan bahwa ini bentuk solusi "baku tipu" diatas tanah Papua. Menurut Pria pemenang lomba First Step to Nobel in Physics pada tahun 2004 ini.

Pemekaran adalah upaya "mempercepat" marginalisasi dan kematian pelan-pelan orang Papua yang saat ini di hadang habis-habis ketika mereka maju menyuarakan apa yang menjadi kehendak dan keinginan luhur mereka. Bahkan dia juga mengajak masyartakat Papua agar jangan menjadi "biang keladi" kehancuran orang Papua di masa depan.

Selain George Saa, Dosen Ilmu Pemerintahan Universiats Cendrawasih, Diego Romario de Fretes, justru mengkhawatirkan pemekaran yang direncanakan pemerintahan Jokowi. Ia menialinya, pemekaran itu justru akan menimbulkan potensi konflik baru, terutama antara militer dan masyarakat.

Hal itu didasarkan atas kemungkinan pembangunan markas militer dan kantor kepolisian baru sebagai dampak dari pemekaran ini. "menurut masyarakat yang saya temui, mereka takut, mereka ada bayang-bayang militer," tegasnya seperti dilansir Kompas.com Jumat (1/11/2019).

Disisi lain, Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK)Fisipol UGM serta Gugus Tugas Papua UGM menjalin kerja sama dengan Tim Pembentukan Provinsi Papua Tengah seperti yang dilansir lama berita ugm.ac.id pada, Sabtu (2/11/2019)

Ketua Tim Pembentukan Provinsi Papua Tengah sekaligus Bupati Nabire, Isais Douw dalam keterangannya seperti yang dilansir ugm.ic.id mengatakan, kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari deklarasi tujuh bupati di wilayah Papua Tengah yang mendukung pembentukan Provinsi Papua Tengah. 

"Kami datang bukan untuk kepentingan pribadi. Kami datang untuk kepentingan masyarakat kami, daerah kami. Perjuangan Provinsi Papua Tenga sudah bukan barang baru lagi. Sudah jalan 20 tahun. Masyarakat juga ingin menikati hasil bumi kami sendiri", pungkasnya. Untuk diketahui, ketujuh bupati tersebut yaitu, Bupaati Mimika, Nabire, Puncak, Intan Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengadakan sidang paripurna luar biasa. Dengan agenda pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Papua. Pansus beranggotakan 15 orang itu terdiri dari utusan empat komite, termasuk delapan senator dari Papua dan Papua Barat. Nantinya akan bekerja membantu pemerintah mencari solusi penyelesaian akar masalah di Papua.

Hemat penulis, pada dasarnya tujuan memekarkan suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota adalah baik. Yaitu untuk membuka wilayah yang terisolisir oleh pembangunan serta untuk mendekatkan pelayan pemerintah dengan rakyatnya. Namun, disisi lain kita juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti, kesepakatan dari masyarakat itu sendiri agar tidak dipandang sebagai kepentingan politis semata.
Untuk konteks pemekaran wilayah Papua. Penulis berpendapat, ditengah carut marut persoalan kemanusian di Papua itu sendiri yang berujung pada kematian seperti data yang dipaparkan oleh YLBHI. Bahwa pemerintah belum serius menangani dan atau mencari solusi apa yang menjadi akar persoalan kemanusian di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun