Mohon tunggu...
KOSIS
KOSIS Mohon Tunggu... Freelancer - dalam ketergesaan menulis semaunya

Merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Ini Apa?

15 Februari 2021   00:16 Diperbarui: 15 Februari 2021   01:02 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringnya pergelaran seni pertunjukan kita selalu dalam rangka entah dalam rangka pandemi, perkawinan, tujuhbelasan, nghabisin anggaran, minta hujan, minta jodoh, atau ritual keagamaan “rangka” itu menentukan orientasi seni yang tergelar bahkan pertunjukan keliling seolah tidak dalam rangka apapun tetap saja dalam rangka mencari uang. Sepertinya nyaris tidak ada seni digelar hanya untuk penikmat cita rasa semata. Setelah ini mungkin bisa kita uji coba

Berbicara tentang post- “setelah” atau “pasca” tentu ada sebelum. Semisal sebelum pergelaran dibatalkan apa yang sudah kau berikan wahai anak muda?

Sebagai pengelola sebuah event kita tau bahwa menghelat sebuah pergelaran dengan melibatkan banyak orang tentu bukan perkara mudah setiap orang punya persepsi dan latar belakang yang berbeda dalam memandang, memahami, dan menghayati perjalanan proses kreatifnya. Proses kreatif ini berkaitan dengan siklus maturitas atau kedewasaan diri sebagai individu.

Mengutip seorang psikolog Hungaria-Amerika Mihaly Csikszentmihalyi yang mengatakan bahwa proses kreatif merupakan pengalaman aktual individu menjadi kreatif. Salah satu konsepsi populer dari proses kreatif adalah gagasan atau pengalaman optimal, merujuk pada sensasi-sensasi dan perasaan-perasaan yang muncul ketika seorang individu sedang melakukan suatu aktivitas.

Untuk memahami perkara tersebut, perlu dimulai dengan karakteristik pembeda utamanya yaitu sifat non-utilitarian karena sebagian besar, utilitas atau kegunaanlah yang memberikan definisi kreatif tersebut, setidaknya akan selalu ada pertanyaan dalam benak kita ‘apa gunanya kita melakukan ini’ sebuah kealamiahan yang mendorong untuk mengutamakan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan, tentu saja itu cukup realistis dan normal

bahwa sebagai pekerja seni atau yang berkecimpung pada wilayah panggung pertunjukan, adalah lazim untuk mencari tepuk tangan, meraih popularitas, mendapatkan uang, dan seterusnya yang mana hal-hal semacam itu kadang menimbulkan kebahagiaan bukan. 

Kita kesampingkan dulu apa yang hegel sebut uang adalah akar dari kejahatan atau seperti lagu om iwan bahwa keinginan adalah sumber penderitaan. Apa boleh buat karena kita masih amatir sebagai manusia maka pengakuan atas keberadaan nampaknya suatu keniscayaan.

Selain merencanakan mengatur dan mengontrol, seorang yang bekerja di belakang panggung harus melibatkan diri dalam kreatifitas pengkarya serta mampu mengatasi dan mengakomodir ketegangan yang seringkali muncul dalam setiap proses, setidaknya drama diluar panggung itu benar adanya dan sulit untuk dinafikan.

Praktik manajerial dan pola kelompok organisasi sering kali bertentangan dengan pandangan personal. Oleh karena itu, sebagian besar upaya untuk menyelaraskan dalam kerangka kerja kadang terhalang oleh anomali, sebut saja adab etika dan sopan santun terhadap kerja-kerja kreatif seharusnya sesuatu yang sudah harus selesai agar tidak menimbulkan anomali. 

Tanggapan pertama terhadap anomali sering kali mengesampingkan rasa keingintahuan, kemudian melihatnya sebagai hal yang menarik tetapi tidak relevan, menarik buatmu belum tentu menarik buatku dan akhirnya melihatnya sebagai hal yang menarik dan relevan dengan paradigma yang paling dominan. Terlihat mudah tetapi sungguh itu memerlukan mental tebal keluwesan dan toleransi yang lebar untuk dilakukan

Dewasa ini Pengetahuan, khususnya pengetahuan teknis dianggap sebagai dasar keunggulan kompetitif, tetapi rasa-rasanya kok itu tidak cukup, ada banyak soal receh diluar pengetahuan yang tidak bisa diabaikan begitu saja, di sisi lain jika itu harus di akomodir ia mewujud seperti boomerang yang kembali kediri sendiri. Kenyataanya pengetahuan tetap butuh kreativitas demi memenuhi tantangan inovasi berkelanjutan lalu memberikan dampak lebih luas kepada penonton.

Persoalan selanjutnya, penonton hari ini tentu berbeda dengan penonton pada era-era terdahulu, penonton hari ini tentu berharap sajian seni pertunjukan senapas dengan semangat zamannya.

Maka seorang pengelola punya pekerjaan rumah yaitu menjadi jembatan antara seni dan perubahan-perubahan sosial disekitar, terutama perubahan yang disebabkan pandemi. Bagaimana penonton bisa menikmati sajian pertunjukan dengan bayang-bayang wabah yang mengancam keselamatan mereka

Bagaimana dengan pemerintah kita? Jika kita nyebelin mereka bisa menggunakan kekuatan supernya untuk semena-mena membubarkan pergelaran alih-alih menjalankan aturan. Kalau sudah begitu kita bisa apa? Mungkin seni bukan lagi kenikmatan khusus tetapi sesuatu yang harus bergeser menjadi sebuah peristiwa besar, pentas di kantor gubernur misalnya kali aja mereka terhibur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun