Mohon tunggu...
KOSIS
KOSIS Mohon Tunggu... Freelancer - dalam ketergesaan menulis semaunya

Merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saling Meminang, Seni dan Manajemen Berkelindan

30 Oktober 2019   23:36 Diperbarui: 6 Maret 2022   19:02 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seni dikenal sebagai suatu nilai luhur, nilai agung, simbol ketulusan, sampai warisan budaya. Konon seniman mewakili harapan-harapan baik bagi masyarakat banyak, banyak seniman yang juga disebut sebagai seseorang yang nyaris tidak tersentuh dengan kepentingan-kepentingan duniawi.

Sementara manajemen, oleh masyarakat ditengarai sebagai sesuatu yang bersifat duniawi, materialistik, identik dengan produk bisnis, bahwa ada banyak unsur-unsur kepentingan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan sangat mudah kita bisa katakan hal tersebut sangat dekat dengan ketamakan dan keserakahan.

Dalam perspektif seperti ini kita bisa melihat ada dua entitas paradoks yang saling bertolak belakang, pertanyaannya apakah keduanya bisa bersinergi, dengan melahirkan anak-anak karya yang fenomenal?

Dilansir dari wikipedia bahasa indonesia Seniman adalah istilah subyektif yang merujuk kepada seseorang yang kreatif, inovatif, atau mahir dalam bidang seni. Penggunaan yang paling kerap adalah untuk menyebut orang-orang yang menciptakan karya seni.

Sudah barang tentu tugas seniman adalah membuat karya karena dengan itulah ia menjadi bernilai. Selanjutnya  masyarakat kemudian mengapresiasinya, salah satunya bisa dengan cara membeli karya tersebut. Namun Jika karya hanya dianggap sebagai nilai tukar, bukankah ia akan kehilangan nilai otentik dan estetik dari seni itu sendiri. Yang artinya hubungan antara harga dan nilai berada pada wilayah abu-abu. Apakah kemudian definisi seniman mengalami disorentasi?

Seniman selalu bersungguh-sungguh dengan penghayatan dalam menciptakan sebuah karya. Maka tak heran sering kali terlihat kebahagiaan seorang seniman terpancar dari karya-karya yang berhasil dibuatnya

Dalam proses berkarya seniman bukan hanya memenuhi kebutuhan batinnya. Lebih dari itu, mereka ingin memberi kebermanfaatan bagi seluruh jagad semesta.

Kita tau ada banyak orang dengan hanya melihat sebuah lukisan ia kemudian seperti menemukan titik balik dan merubah hidupnya. Dengan menonton film seseorang bisa menjadi berbeda entah fashion, pola pikir, maupun idealismenya. Membaca karya tulis dari seorang penulis berarti membuka cakrawala pengetahuan. 

Begitu  pun dengan tari dan teater, seringkali penyadaran hidup kita dapati dari pertunjukan-pertunjukan tersebut. Apa lagi musik, sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. 

Musik bahkan sampai menembus teritori medis yang digunakan sebagai metode pengobatan, karna musik ternyata bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Banyak penelitian yang sudah membuktikan kehebatannya. Itu semua adalah khazanah dan kontribusi seni yang tidak terelakan.

Sementara dalam melacak sejarah manajemen kita kesulitan, sama seperti bagaimana sulitnya pria memahami wanita. 

Melalui wikipedia disebutkan beberapa orang hanya mampu mendeteksi aktifitas yang mirip dengan manajemen, tanda-tanda manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di mesir. 

Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun. Dari sini kita bisa sepakat bahwa bangunan ini tentu saja dikerjakan dengan perencanaan matang, mengorganisir para pekerja serta bahan bakunya agar segala sesuatunya terwujud sesuai rencana.

Tidak mungkin piramida tersebut bisa kokoh sampe sekarang tanpa ada peran seorang figur. Entah saat itu sudah ada istilah manajer atau belum, yang jelas piramida ini adalah salah satu bukti karya intagible dari proses manajemen.

Sejauh ini manajemen adalah pekerjaan humanis. Bayangkan saja di era revolusi industri 4.0 fenomena teknologi cyber dan teknologi otomatisasi terus menambah nilai efisiensi pada lingkungan kerja. Degan kemajuan yang begitu cepat suatu saat nanti semua lini-lini kehidupan akan dipenuhi dengan teknologi.

Tenaga kerja akan diganti dengan mesin atau robot, semua aktifitas akan dengan mudah dikerjakan oleh robot. Tetapi, siapa yang bisa menggerakan robot? maka jawabannya adalah manusia. Karena robot tidak mungkin bisa mengambil alih semua keputusan dan ia tidak bisa menjadi manajer. Manajemen memiliki kekayaan yang tidak dimiliki robot terkait ilmu pengetahuan akal budi dan budaya.

Sederet pertanyaan kemudian muncul, seperti apa korelasinya produk kesenian dengan manajemen? kenapa kesenian harus bersanding dengan manajemen? Kongkritnya kita bisa mengatakan bahwa kesenian perlu manajemen agar efektif dan efisien. Artinya  bahwa kemudian karya tersebut menemukan penonton atau penikmat yang tepat. Tentu saja ia harus menemukan manajemen yang memiliki kemampuan manajerial yang baik

Bahwa sebuah karya bisa diproduksi dengan lebih efisien ketika kita mengaturnya dengan baik. Ada keteraturan disana, dilain pihak seniman punya stigma tidak bisa diatur. Karena kesenian cenderung bersifat spontan, kebiasaan, mood yang baik, intuisi dalam diri sampai kegelisahan-kegelisahan seniman. Atau semacam inspirasi untuk kemudian menjadi alasan ia membuat suatu karya yang fantastis.

Jika kita lihat sepertinya manajemen tidak memerlukan itu semua, manajemen lebih perlu perhitungan yang matang, presisi juga kalkulasi. Atau manajemen justru mereduksi nilai guna menjadi nilai tukar yang mensublimasi pemikiran dari ranah tehnik menuju seni sebagai strategi untuk meraup keuntungan.

Namun apakah benar seniman itu jauh dari keteraturan? seorang penulis tidak selalu langsung menulis ketika menemukan ide, kadang mereka mencatat atau menuliskan sesuatu pada buku catatan terlebih dahulu, lalu menulis lagi dan begitu seterusnya. Kemudian mengulang kembali merangkum tulisan yang ia catat di buku catatannya. Bukankah itu adalah keteraturan. Hanya saja pengerjaan atau momentum untuk dikerjakannya yang mungkin tidak teratur. Tetapi pada dasarnya tidak ada yang tiba-tiba.

manajemen sepertinya masih sulit atau barangkali tidak berjodoh dengan kesenian teater, bisa kita identifikasi dari penontonnya yang cenderung sedikit, padahal secara historis teater adalah ritual. Teater itu merujuk pada tempat pertunjukannya dimana ritual tersebut dilakukan.

Hampir semua tradisi dan ritual punya jadwal, seperti ritual yang dilakukan pada saat bulan purnama, ritual sehabis panen, ritual-ritual tersebut tentu terjadwal, jika penjadwalan berarti sama dengan perencanaan, maka bisa dikatakan manajemen ada diantara ritual tersebut.

Apakah kemudian semakin individual karya seni maka ia semakin mudah untuk di kelola? pelukis misalnya, karna dia sendiri dan tidak bermain kelompok sehingga kerumitan dalam pengorganisasian cenderung lebih mudah. Apakah benar demikian?

Dalam hemat saya seni rupa menempati urutan pertama dalam manajemen, ia memiliki potensi jual yang tinggi. Sebutlah seni lukis selain memiliki nilai estetik, lukisan juga memiliki nilai konsumsi dan dianggap sebagai aset atau investasi masa depan, karena tentu saja nilai produknya jauh lebih lama, ini yang kemudian menjadi target para manajer belum lagi harga lukisan yang sangat misterius menjadi obrolan atau materi yang tidak pernah selesai di perbincangkan.

Berbeda halnya dengan seni pertunjukan, seni pertunjukan hanya disaksikan atau dinikmati satu kali, karena kecil kemungkinan orang akan menonton pertunjukan yang sama berkali-kali. Sementara seni rupa karyanya bersifat portable artinya bisa kita bawa pulang dan terus menerus di lihat, bahasa produknya pun lebih universal. Berbanding dengan pertunjukan teater yang linguistik. Karena kendaraan teater adalah kata-kata jadi ia butuh bahasa. Walaupun dewasa ini dengan perkembangannya sudah ada jenis teater tubuh yang tidak menggunakan kata-kata.

Di indonesia pertunjukan teater menggunakan bahasa indonesia sehingga ada kesulitan jika di bawa ke negara lain. Sedangkan seni rupa memiliki bahasa yang universal, apa mungkin karna visual lebih mudah dimengerti secara luas.

Sederhananya mengurus satu orang pelukis lebih mudah dari pada mengurus anak-anak pertunjukan yang cenderung kelompok, lalu dimanakah peran manajemen?

Semua asumsi stigma persoalan seni dan manajemen pada akhirnya dijawab oleh Ngayogjazz. Sebuah gerakan kebudayaan yang tidak hanya menjual eksotisme, tapi juga hadir memberikan model pembelajaran yang lebih efektif. Menciptakan sebuah effort mengenai seni dan manajemen. Dengan manajemen yang organik, non komersial tidak berorentasi profit oriented tapi justru berakar ketulusan, kepedulian, dan semangat berkesenian. 

Fenomena ini mendapatkan keuntungan bukan berupa uang tapi investasi kultural bagi generasi selanjutnya. Memberi  dampak ekonomi pada desa dimana Ngayogjazz terselenggara. Disanalah peristiwa seni dan manajemen berkolaborasi dengan ciamik.

Lalu bagaimana dengan senimannya? Disuatu percakapan mas Djadug Ferianto (seniman sekaligus salah satu penggagas Ngayogjazz) mengatakan, kami selaku seniman tetap miskin permanen dan konsisten untuk miskin, tetapi gagasan terus kedepan. Lalu kita semua tertawa....

Bagaimanapun keindahan dan kehebatan sebuah seni tanpa pengelolaan yang baik, tak akan mampu memberikan pelajaran dan filosofi hidup yang berarti. 

Seni tanpa manajemen tak akan membuat publik terpikat tak akan melahirkan karya yang bermanfaat. 

Pasangan yang memutuskan akan menikah tentu mereka telah berhasil menemukan kelemahan masing-masing lalu bersepakat untuk mengisi kelemahan tersebut. 

Untuk itulah diperlukannya pengetahuan dalam pengelolaan seni secara menyeluruh dan simultan karena seni dan manajemen bukan soal mana yang lebih superior atau mana yang lebih dulu tapi keduannya saling meminang dan berkelindan.

-Kosis-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun