Mohon tunggu...
KOSIS
KOSIS Mohon Tunggu... Freelancer - dalam ketergesaan menulis semaunya

Merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saling Meminang, Seni dan Manajemen Berkelindan

30 Oktober 2019   23:36 Diperbarui: 6 Maret 2022   19:02 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah kemudian semakin individual karya seni maka ia semakin mudah untuk di kelola? pelukis misalnya, karna dia sendiri dan tidak bermain kelompok sehingga kerumitan dalam pengorganisasian cenderung lebih mudah. Apakah benar demikian?

Dalam hemat saya seni rupa menempati urutan pertama dalam manajemen, ia memiliki potensi jual yang tinggi. Sebutlah seni lukis selain memiliki nilai estetik, lukisan juga memiliki nilai konsumsi dan dianggap sebagai aset atau investasi masa depan, karena tentu saja nilai produknya jauh lebih lama, ini yang kemudian menjadi target para manajer belum lagi harga lukisan yang sangat misterius menjadi obrolan atau materi yang tidak pernah selesai di perbincangkan.

Berbeda halnya dengan seni pertunjukan, seni pertunjukan hanya disaksikan atau dinikmati satu kali, karena kecil kemungkinan orang akan menonton pertunjukan yang sama berkali-kali. Sementara seni rupa karyanya bersifat portable artinya bisa kita bawa pulang dan terus menerus di lihat, bahasa produknya pun lebih universal. Berbanding dengan pertunjukan teater yang linguistik. Karena kendaraan teater adalah kata-kata jadi ia butuh bahasa. Walaupun dewasa ini dengan perkembangannya sudah ada jenis teater tubuh yang tidak menggunakan kata-kata.

Di indonesia pertunjukan teater menggunakan bahasa indonesia sehingga ada kesulitan jika di bawa ke negara lain. Sedangkan seni rupa memiliki bahasa yang universal, apa mungkin karna visual lebih mudah dimengerti secara luas.

Sederhananya mengurus satu orang pelukis lebih mudah dari pada mengurus anak-anak pertunjukan yang cenderung kelompok, lalu dimanakah peran manajemen?

Semua asumsi stigma persoalan seni dan manajemen pada akhirnya dijawab oleh Ngayogjazz. Sebuah gerakan kebudayaan yang tidak hanya menjual eksotisme, tapi juga hadir memberikan model pembelajaran yang lebih efektif. Menciptakan sebuah effort mengenai seni dan manajemen. Dengan manajemen yang organik, non komersial tidak berorentasi profit oriented tapi justru berakar ketulusan, kepedulian, dan semangat berkesenian. 

Fenomena ini mendapatkan keuntungan bukan berupa uang tapi investasi kultural bagi generasi selanjutnya. Memberi  dampak ekonomi pada desa dimana Ngayogjazz terselenggara. Disanalah peristiwa seni dan manajemen berkolaborasi dengan ciamik.

Lalu bagaimana dengan senimannya? Disuatu percakapan mas Djadug Ferianto (seniman sekaligus salah satu penggagas Ngayogjazz) mengatakan, kami selaku seniman tetap miskin permanen dan konsisten untuk miskin, tetapi gagasan terus kedepan. Lalu kita semua tertawa....

Bagaimanapun keindahan dan kehebatan sebuah seni tanpa pengelolaan yang baik, tak akan mampu memberikan pelajaran dan filosofi hidup yang berarti. 

Seni tanpa manajemen tak akan membuat publik terpikat tak akan melahirkan karya yang bermanfaat. 

Pasangan yang memutuskan akan menikah tentu mereka telah berhasil menemukan kelemahan masing-masing lalu bersepakat untuk mengisi kelemahan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun