Semua orang yang mendengarkan percakapan tersebut seketika terdiam membatu. Beberapa pasang mata sontak menyorot tegang ke arah sang pria, tak percaya dengan beberapa baris kalimat yang diucapkan oleh buronan misterius tersebut. Sang jenderal dan ajudannya hanya bisa menelan ludah, seketika itu rasanya bagaikan dihempas oleh badai dingin. Bulu kuduk berdiri, sukma pun gemetar.
Sang ajudan yang sudah hampir membobol keamanan sistem PIN pun kembali terfokus kepada komputer tabletnya. Ia penasaran, hasratnya kini serupa dengan apa yang dirasakan oleh atasannya. Segera ia masukkan beberapa baris kode dan "KLIK!" Ia tutup kegiatan peretasannya dengan menekan sebuah tombol eksekusi.
"Well ... " lanjut sang pria. "Jika kalian tidak bisa memenuhi permintaan terakhirku, maka aku akan menanyakannya sendiri kepada bos kalian."
"K-kau ... kau tidak akan pernah bisa melakukannya karena kau berada di bawah pengawasan kami. Kau akan mati sebelum berhasil menemui Jenderal Yusuf."
Lagi-lagi sang pria menghembuskan napas panjang. "Andai saja kalian sadar bahwa kalian sedang tidak menginterogasiku di ruangan ini ... " jawab sang pria seraya meletakkan kedua tangannya di atas meja.
"HEI, BAGAIMANA CARA KEDUA TANGANMU--"
"... kalianlah yang kuinterogasi di ruangan ini."
.
.
"CKLAK!"
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja hitam menyekat pandang. Safe house yang semula terang-benderang kini harus berselimut kegelapan. Seluruh penghuni safe house terperanjat. Setahu mereka, rumah rahasia itu memiliki daya cadangan sekalipun terjadi pemadaman bergilir.