"U-ungg, bisa kucoba, tetapi aku tak jamin--"
"Lakukan! Kalau PIN memberi alert, aku yang akan turun tangan. Yang penting aku harus tahu identitas bocah bangsat ini dan harus sekarang!"
"B-baik, pak ... "
---
"Sebelum kalian menggantungku atau menembakku atau membakarku, bolehkah aku membuat permintaan terakhir? Well, aku tahu bahwa hidupku takkan lama lagi di sini," sang pria misterius lanjut berucap kepada para investigator.
"Meh, sebenarnya aku tak mau memberikannya, tetapi baiklah. Jika itu dapat membuatmu bahagia sebelum maut menjemput, mengapa tidak? Apa permintaan terakhirmu?" Ucap si kepala investigator santai.
"Aku hanya ingin tahu siapa yang memimpin eksekusi pada saat terjadi pembantaian di Kampung Rimbun. Kalian tahu, bukan demikian?"
"Huh, mana kutahu? Aku tidak dilibatkan pada operasi di lapangan. Kalau kau bertanya kepada bosku mungkin ia tahu, tetapi bosku terlalu jijik untuk bertemu denganmu."
"Ah, benarkah demikian?" sang pria duduk bersandar di kursinya seraya tersenyum kecut. "Aku tak begitu yakin bahwa bosmu jijik bertemu denganku."
"Mengapa demikian?" Tanya si polisi keheranan.
Sang pria menghela napas panjang, lalu menghembuskannya sembari tertawa kecil. "Karena bosmu terlibat pada pembantaian tersebut. Aku berasumsi ia berada di ruangan sebelah sedang mendengarkan kita bercakap-cakap karena ia ketakutan pasca melihat keenam kawannya di parlemen tewas di tanganku. Bukan demikian, Jenderal Yusuf Tarigan?" Tutup sang pria seraya menoleh ke arah cermin besar di samping kirinya.