Jangankan itu, ketua. "Katanya kendaraan yang mengantar juga bisa menebarkan virusnya sembari berjalan. Kan ngeri."
Tin, terlalu jauh kamu berfikir. Jawab ketua.
Tapi saya setuju dengan yang disampaikan Tini, sambung Tono. Kasihan warga kita nanti ketua.
Belum selesai keputusan dibuat, warga sudah ramai mendatangi kediaman ketua, menyatakan keberatan ada warga lain yang dimakamkan di desa Bugelan.
"Tenang, bapak ibu, ada apa ini?" Ketua mencoba mengatasi keriuhan yang terjadi. "Ini ada warga yang meninggal hendak dimakamkan di desa kita, ketua." Teriak Biduk, salah satu warga desa Bugelan.
"Loh, selama ini juga warga ga pernah keberatan dengan adanya warga lain yang meninggal dan dimakamkan di desa kita," ujarku.
"Itu lain, ketua," ini yang meninggal karena korona, sambung yang lain, entah siapa.
"Kami ga mau mayat korona di kuburkan di desa kita," kali ini sudah seperti paduan suara.
Akhirnya, kami beramai-ramai ke pemakaman yang dimaksud. Keluarga yang berduka tidak kalah ramai jumlahnya. Dan sedikit bersikeras untuk dapat memakamkan anaknya di desa kami. Sembari menunjukkan sepucuk surat dari pejabat berwenang.
Beberapa warga desa Bugelan bersikeras menolak, sementara keluarga memohon agar di berikan ijin melaksanakan penguburan secara layak.
Tahan dulu semuanya, ujarku. Waktu beranjak semakin siang. Saya memutuskan melarang dilaksanakan penguburan, sampai mendapat kepastian dari pihak terkait.