Negara Gila Bola. Bagaimana seandainya ada suatu negara yang gila bola, saking fanatisnya pada timnasnya negara ini setiap timnasnya tampil membuat libur nasional agar rakyatnya konsentrasi membela timnas mereka. Bagaimana jika ini benar terjadi?
Tentu ini hanya andai-andai saja. Sepertinya tidak mungkinlah terjadi di negara kita. Tapi baiklah tidak salah jika kita berandai tinggal di negara gila bola.
Negara ini di pimpin oleh mantan kapten pemain sepak bola tentunya. Mantan kapten ini dipuja oleh masyarakatnya. Pada Masa jayanya, sang mantan kapten ini membawa negaranya ke tingkat dunia. Tim sepak bola negara ini menjuarai kejuaraan sepak bola dunia. Dimana pada jaman dulu hal ini dianggap tidak mungkin.
Mantan kapten timnas dan kapten ini adalah pesepakbola sejati. Setelah pensiun dari timnas, dia diangkat menjadi pelatih timnas. Timnas yang dia latih menghasilkan timnas yang tertangguh di dunia. Bahkan negara lain, belajar dari akademi sepak bola yang dia rintis dan dirikan.
Hasil didikan akademi ini bahkan tidak membela di tanah air saja. Banyak klub dari luar negeri yang mengontrak dan antri untuk menggunakan tenaga jebolan akademi ini.
Pondasi timnas yang dia berikan menghasilkan timnas yang solid. Yang mapan dan menjadi contoh akademi panutan negara manapun mengikutinya.
--
Sejatinya olah raga dan politik janganlah digabung. Namun negara ini berhasil menunjukan bahwa olah raga dan politik tidaklah tabu bila dipadu. Justru sifat luhur yang ada di olah raga sepakbola dapat dibawa ke politik yaitu: sportifitas.
Demikianlah si mantan kapten yang kini menjadi presiden. Dia maju ke dunia politik justru awalnya tidak ada partai politik pendukungnya. Namun dengan gemilangnya prestasinya di masa lalu ada juga partai yang kecil yang mau mendukungnya.
Kalau pidato kampanye tokoh partai politik yang lain, isinya menjelekan lawan politiknya, justru berbeda dengan si mantan kapten. Dia justru berpidato menyanjung lawan politiknya.
Dia malah menghimbau lawan politiknya untuk membangun negara bersama. Justru karena kesantunan dan kepolosan si mantan kapten inilah yang menjadi daya tarik masyarakat padanya.
Sifat yang selama ini sangat susah ditemui dari tokoh partai politik yang ada. Justru selama ini tokoh partai politik ini seakan mencintai sepak bola dan bidang olah raga lain yang tampaknya disukai masyarakat. Namun ketika orang-orang perhatiannya tidak ada, maka merekapun “hilang” tanpa perhatian sama sekali.
Tokoh-tokoh itu sepertinya “mencari muka” di hadapan masyarakat. Mereka pikir masyarakat dapat dibohongi. Padahal masyarakat mengerti benar mana yang tulus hati dan mana yang mengandung “udang dibalik batu”.
Mantan kapten ini justru membawa angin politik baru. Dia puji dengan tulus lawan politiknya. Tidak ada satupun kritik yang dia berikan. Hanya janji kampanye, satu hal saja: “negara kita dapat maju jika kita bangun bersama”
Dia selalu mencontohkan, tanpa kebersamaan negara ini tidak akan pernah maju. Kebersamaan yang ada di sepakbola dia terapkan di tim suksesnya dia. Dan itu menyebar di partai yang dia bela. Partai yang dia bela pelan tapi pasti mempengaruhi masyarakat.
Sportifitas dan kebersamaan didengungkan dan menjadi motto partai mereka. Dan dia memenangkan pemilu dengan mengejutkan. Orang melihat kesederhanaan dan kebersamaan yang ditampilkan. Masyarakart sudah muak dengan kepalsuan yang mereka lihat selama ini.
--
Pujian awal dari kejatuhan. Mantan kapten yang menjadi presiden ini tahu persis apa yang terkandung dari pujian. Pujian yang dia terima dulu saat membela timnas pernah membuat tim mereka takabur saat awal-awal bangkit.
Masyarakat takjub ternyata tim mereka dapat berjaya di luar negara. Betapa selama ini maju ke piala dunia sepertinya mimpi. Maka mengalirlah pujian dari media masa. Ternyata pujian ini disamping menaikan semangat dapat juga menjadi racun. Ada pemain yang merasa “marah” karena yang dipuji adalah sang kapten, sangat sakit hati. Dalam permainan jika dia memegang bola dia akan berikan ke pemain lain, tidak pada sang kapten. Ternyata pemain-pemain lain pun seperti itu.
Sifat individunya muncul, jika sudah di depan gawang, maka nafsu ingin mencetak gol begitu merajalela. Tidak memperhatikan pemain lain dan tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya ketika dia mencetak gol, pasti besoknya ratusan juta akan melihat dan memuji kecermelangan dia di media masa, bukan sang kapten.
Sang kapten mengetahui “racun” yang berkembang di dalam timnya, dia kumpulkan semua teman-temannya. Dia bercerita tentang racun yang sedang melanda tim mereka. Jika tidak dituntaskan, maka mereka adalah tinggal nama saja. Racun itu ialah : “pujian”.
Dia mulai memupuk rasa kebersamaan antar pemain mereka. Kebersamaan ini akhirnya tumbuh akrab. Tidak dengan kata-kata tapi ditunjukkan melaui perbuatan nyata di dalam permainan maupun dalam pergaulan mereka.
--
Mencintai apa yang dilakukan. Itu adalah kunci keberhasilan si mantan kapten dan sang presiden. Ketika dia masih kecil, dia peluk bolanya. Dia cuci bolanya dan dibawanya tidur. Tiada hari tanpa bermain bola. Saat mau berangkat sekolah dia berlatih bola. Saat di sekolah, diapun bermain bola saat tidak belajar. Selesai pulang sekolah, sore harinya dia bermain bola dengan teman kampungnya.
Betapa dia mencintai apa yang dia lakukan. Mimpinya kuat sekali menjadi pemain sepak bola yang luar biasa nantinya yang dapat mengangkat negaranya.
Kalau dia bercerita mimpinya, semua orang dengan cepat berkata padanya “jangan pernah bermimpi”.
Tapi yang dia lakukan adalah sebaliknya, dia semakin kuat menanamkan mimpinya. Semakin orang meremehkan dirinya, Dia semakin kuat berlatih. Dia tonton pertandingan terbaik, dia beli VCD dan DVD rekamannya. Kadang dia merekam sendiri pertandingan-pertandingan terbaik dunia. Dia coba semua gerakan, tendangan dan teknik bola. Dia putar ulang-ulang semua moment mencetak gol. Semua rekaman gol-gol indah ada semua dia otaknya. Tidak ratusan kali, bahkan ribuan kali dia putar2 menontonnya.
Kebiasaannya ini ditularinya pada teman klubnya, teman timnas. Hasil menonton mereka diskusikan dan mereka racik dalam pola latihan mereka. Alhasil klub kecilnya menjuarai liga. Kebanyakan teman klubnya membela timnas negara mereka.
Kebiasaan latihan dan secara ilmiah mendiskusikan pola permainan terbaik merupakan kebiasaan mereka.
Dan itu juga yang dia lakukan saat menjadi presiden. Dia begitu mencintai negaranya. Dia belajar dari negara manapun yang baik ekonominya, pertaniannya, teknologinya. Pokoknya apapun yang terbaik yang ada didunia ini dia pelajarai dan dia olah bersama rakyatnya.
Dia tantang rakyatnya membangun negara mereka. Seakan ada gerakan bersama membangun negara mereka.
Dia dengungkan pada rakyatnya, apapun bidang keahlian rakyatnya harus dilandasi dengan cinta. Cinta pada pekerjaan, cinta pada negara, untuk membangun, untuk memajukan keluarga. Jika keluarga maju, maka pasti negarapun maju. Negara ini maju hanya karena bola, susah dipercaya.
--
Pondasi. Apapun awalnya memerlukan pondasi. Si mantan kapten menyadari, jika tim yang dia bela tidak ada penerusnya maka sia-sialah perjuangannya selama ini. Harus ada penerusnya? Untuk membinanya harus ada akademinya. Dia berjuang dan akhirnya akademi sepakbola inipun berdiri dan menghasilkan pesepakbola tangguh yang diakui dunia luar.
Itulah mimpi dunia negara gila sepak bola. Namun jika kita ingin melihat intinya, semua yang diatas dapat kita terapkan pada keadaan nyata kita.
Dapat diterapkan di gereja kita, di pelayanan kita, di keluarga kita, di perusahaan kita.
Intinya: dalam menjalan apapun kita perlu kebersamaan. Dalam melakukan apapun kita perlu mencintai apa yang kita kerjakan. Dalam apapun kita perlu latihan dan pondasi pengetahuan untuk mendapat yang lebih baik lagi.
Lukas 16:10 "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.
Namun yang utama pelajaran dari si mantan kapten dan yang presiden ialah dia setia melakukan yang ditugaskan padanya dengan setia, sekecil apapun itu. Tanggung jawab yang diberikan pada dia ketika berhasil dia kerjakan dengan setia dan penuh tanggung jawab, maka otomatis tanpa dia minta, tanggung jawab yang lebih besarpun akan datang.
Bagaimana dengan kita?
ditulis juga di:http://www.facebook.com/notes.php?id=124686597570723¬es_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=176879459010919
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H