Kau menghalau diriku dengan tanganmu,
Namun halauan tersebut menarikku ke dalam."
Dari untaian puisi Rumi di atas, kita bisa menagkap sarat makan disetiap baitnya, di mana Rumi menggambarkan Tuhan sebagai pelarut yang melarutkan diri kita dalam dekapan-Nya jika kita bisa melepaskan ego dalam diri kita. Namun, ketika ego masih melekat pada diri kita, Tuhan tidak akan bisa menyentuh dan masuk ke dalam diri kita, "setiap kali hamba meniada, maka Allah mengada, baginya. Sebaliknya, setiap kali hamba 'mengada' maka Allah 'meniada'". Dalam artian ini seolah-olah diantara ke hadirat penguasa yang Maha Arif dan Maha kuat pilihan paling terbaik adalah menyerahkan diri sepenuhnya secara total kepada sang penguasa dan mengabdikan dirimu sepenuhnya kepada Sang Khalik. Lebih lanjut, pada diagram nafs yang suci ini di dalamnya tidak ada lagi perasaan terpisah atau identitas terpisah. Tidak ada batas atau hijab antara diri dan Tuhan, karena sudah manunggal (menyatu) yang ada hanyalah posisi Tuhan.
 Itulah serangkaian potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia, harapan penulis para pembaca yang budiman khususnya penulis sendiri mudah-mudahan senantiasa terjaga dari segala keburukan yang datang dari nafs di dalam diri kita, sehingga kita selaku manusia sekalligus makhluk Tuhan senantiasa dekat dengan Pencipta kita agar dalam menjalani kehidupan lebih bermakna.
WaAllahu'alam bishoab...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI