Hanya bilik bambu tempat tinggal kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan
Beratap jerami beralaskan tanah
Namun semua ini punya kita
Memang semua ini milik kita sendiri
Hanya alang-alang pagar rumah kita
Tanpa anyelir, tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh di halaman
Namun semua itu punya kita
Memang semua itu milik kita sendiri
Saya suka penggalan lirik lagu "Rumah Kita" dari God bless di atas.Â
Begitu renyah saat dinikmati bersama seruputan kopi pahit dan berkudap local food, rebusan ubi.
Idealisme yang dihantarkan kental merapal home sweet home sebagai basis homeostasis (keseimbangan) ekosistem dan penghuninya.
Lagu tersebut jelas bergenre ekokritik dengan variabel homeostasis ekosistem yang rinci dan jelas, seperti: bilik bambu, tanpa hiasan, tanpa lukisan, beratap jerami, beralaskan tanah, hanya alang-alang pagar rumah, dan seterusnya.Â
Penggalan lirik di atas adalah bentuk ideal homeostasis rumahan pada ekosistem yang belum mendapatkan disrupsi teknologi secara besar-besaran.Â
Semua variabel homeostasis di atas dapat menjadi acuan asesmen daur hidup rumahan sebagai turunan dari LCA (Life Cycle Assessment) yang kesohor itu.
Asesmen ini dapat digunakan sebagai metode penilaian dampak lingkungan terhadap jejak karbon.
Saya tertarik untuk merefleksikan LCA yang rumit tersebut ke dalam bentuk sederhana.
Nantinya juga mudah dilakukan di rumah-rumah hunian tanpa sadis mengebiri hasil budi dan daya kekiniaan, seperti: tembok, pagar besi, lantai keramik dan atap metal.
Kenapa demikian? Pada dasarnya, semua aktivitas natural yang ada di alam ataupun aktivitas fisik yang dilakukan manusia, pasti menghasilkan jejak karbon.
Emisi tersebut dilepaskan ke alam sebagai proses dan siklus homeostasis alami jika saja tidak terganggu ambang batasnya.
Idealnya, emisi dan jejak karbon yang dilepaskan ke alam haruslah seimbang dengan kemampuan alam untuk menetralkan.Â
Kenyataannya, emisi yang dilepaskan sudah melampaui kemampuan lingkungan alami untuk menciptakan keadaan homeostasisnya.
Tetapi, janganlah berputus asa. Makhluk hidup itu selalu memiliki perilaku tersendiri untuk berusaha menciptakan kondisi homeostasis yang positif dalam ekosistemnya. Manusia akan menyintas!
Homeostasis daur hidup rumahan saya ini adalah hasil refleksi LCA (Life Cycle Assessment) yang dioprek setingkat asesmen rumahan.
Langkah-langkah asesmen rumahan ini cukup berpotensi untuk mengurangi pemanasan global, potensi penipisan ozon, potensi pengasaman, potensi eutrofikasi, dan potensi fotokimia yang merugikan dengan syarat adanya andil personal di rumah masing-masing.
Semua itu nantinya dapat diharapkan mempunyai tujuan akhir yang bisa dan mampu berkelanjutan (sustainabilitas tinggi).Â
Asesmen daur hidup rumahan ini akan berpadu dengan homeostasis ekosistem untuk membentuk keseimbangan dinamis guna mendukung net zero emissions dalam hal andil memangkas jejak karbon.
Unsur asesmen daur hidup rumahan yang pertama yaitu geografis. Yaitu tentang bagaimana aktivitas rumah mempunyai dampak yang berbeda-beda yang bergantung pada lokasi bangunannya.
Hunian di daerah dingin kawasan tropis tentunya lebih memiliki jejak karbon rendah jika dibandingkan dengan rumah di daerah panas dengan AC atau kipas anginnya.
Asesmen tentu lebih fokus pada hunian dengan geografis panas. Bagaimana ketat dan disiplin untuk mengatur jam operasi AC dan kipas angin dengan selingan buka jendela lebar-lebar pada momentum yang memungkinkan, seperti di pagi buta.
Tak lupa juga berbijak jam operasi alat-alat elekronik lainnya, semisal selingan cuci manual terhadap desing putaran elektrik mesin cuci. Sit Less, Get Active!
Geografis hunian juga bijak pada pemilihan bahan konvensional, seperti balok beton aerasi, beton bertulang, serta bahan isolasi termal lempengan berbahan mineral.
Ini jauh lebih bijak daripada menjatuhkan pilihan pada bahan krisis, seperti balok kayu utama hutan hujan tropis.
Kemudian faktor kedua demografis daur hidup rumahan, yaitu tentang emisi karbon yang dihasilkan hunian memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada jumlah populasi penghuni rumah.Â
Hal ini erat kaitannya dengan program keluarga berencana (KB). Makin padat makin besar jejak karbonnya.
Faktor asesmen ketiga yaitu raw material extraction, merupakan awal dari siklus hidup rumahan yang berkaitan dengan jarak rerata transportasi bahan makanan dan moda perjalanan keluarga.
Ini tentunya berkaitan erat dengan kebijakan local food. Makin dekat mendapatkannya, makin kecil jejak karbon pengangkutannya.Â
Kebijakan ini banyak cara untuk mewujudksnnya. Salah satunya kebijakan tentang Local Food Loves Sky.
Kemudian beranjak pada faktor asesmen rumahan keempat, yaitu material processing, yakni tentang bagaimana besaran energi yang diperlukan untuk memasak bahan baku menjadi makanan siap saji untuk keluarga.
Makin banyak olahan rebusan lebih baik dari olahan gorengan.Â
Juga diperlukan kebijakan memilih lebih banyak buah-buahan hasil positif panen ruang hijau (green space) yang kita buat sebagai Refleksi Urban Forest ke Hunian Pribadi.
Adapun yang kelima, faktor asesmen daur hidup rumahan berupa teknik use/re-use maintenance.Â
Faktor ini menuntut kebijakan penggunaan barang baru, kemampuan daur ulang bahan usang, rekondisi dan usaha perbaikan semua bahan pokok dan utilitas rumah tangga.Â
Bagian asesmen selanjutnya adalah housing waste management atau manajemen sampah rumahan yang merupakan pengelolaan hasil akhir dari semua aktivitas rumahan yang berupa pengelolaan limbah atau pemanfaatannya.
Banyak cara untuk hal ini, seperti teknik kompos sederhana atau menyerahkan pada bank sampah terdekat. Tidak membuangnya sembarangan adalah kunci.
Itukah gambaran sederhana asesmen daur hidup ala rumahan yang bisa diakses mulai sekarang juga untuk dukung net zero emissions.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H