Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Nature

Carpe Diem: Fraseologi Trengginas Langit Biru

17 Oktober 2021   22:45 Diperbarui: 17 Oktober 2021   23:03 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya membuka tutup botol yang masih 'plastik' dan kemudian meneguknya tanpa 'gelas plastik' di saat rehat pendakian--itulah rasa surga dunia.

Kesegaran airnya begitu membasah dahaga yang mengering. 

Tanpa basa-basi untuk berpikir panjang lagi tentang dari mana air itu didapat, diproduksi, serta seberapa panjang jejak karbon yang dihasilkan dari rantai produksinya?

Atau tanpa perlu berpanjang lebar untuk menyelidiki seberapa berhasil daur ulangnya. Ya, saya berpikir positif saja.

Cukuplah mata ini memandangi simbol "recycle" di botol yang sahih digaransi oleh RPET (Recycle-Polietilena tereftala). 

Semoga saja jejak karbonnya tak terlalu panjang di level daur ulangnya. 

Entah itu apa namanya, 'pellet plastik', yang makin mahal harganya di pasaran.

Sepertinya itu menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan untuk mengurangi sampah plastik. 

Namun, di sisi lain juga menghasilkan jejak karbon dari rantai produksi daur ulang pirolis plastik dan destilasinya. Lingkaran setan yang tiada habis.

Terus bagaimana lagi tentang tempat air plastik yang saya genggam ini? Apa mau beralih tempat air dari tembikar ala pendekar mabuk itu? 

Ataukah dari logam seperti verples-nya tentara jadul tempo dulu?

Akankah juga saya akan memilih tempat air dari kulit binatang ala qirbah gaya gipsi yang eksotik itu?

Sebelum semua terjawab, keburu tangan saya beranjak mengambil bekal kudapan. 

Beberapa kue basah tanpa kemasan plastik. Pembungkus daun pisang berusaha mendominasi bekal logistik.

Tentang rasa? Anggap saja ini kudapan ramah lingkungan yang enak. Walau bentuknya sudah penyok tak keruan.

Sambil kunyah-kunyah kudapan, saya memandang sepatu yang sudah tak bersih lagi. 

Bahannya juga sintetis, seperti yang sudah-sudah, agar kuat menapak medan terjal dan tahan air.

Haruskah tanpa alas? atau pakai terompah kayu saja?

Sebelum semua terjawab, dengan cepat saya ambil gawai dan mengarahkan kameranya. Jepret! Lumayan untuk postingan. 

Sambil nyengir sendiri, jemari ini bergerak usap layar gawai. Mencari sebuah aplikasi untuk menghibur diri.

Ini bukanlah aplikasi arus utama sosialita urban, tapi aplikasi pengukur jejak karbon personal (carbon footprints meter), yang kini sudah banyak tersedia di pasar aplikasi.

Sudah berulang-ulang saya isi variabelnya untuk menentukan hasil tahunan paparan karbon personalnya. 

Isian variabelnya juga beragam. Mulai dari variabel frekuensi kecenderungan jenis bahan makanan, jenis moda perjalanan, suplai sumber energi rumahan, frekuensi pembelian fesyen, jenis bahan bakar kendaraan pribadi hingga urusan seberapa sering terbang dengan pesawat.

Setelah klik, hasilnya selalu 'waspada'. Ini mereka sebut sebagai parameter andil yang lumayan kritis bagi jejak karbon personal. 

Ah, saya penyumbang jejak karbon juga ternyata!

Padahal, sudah berbungkus daun pisang. Makan daging dan seafood jarang. Hanya meningkat saat Hari Raya Kurban dan acara kondangan.

Naik pesawat? Ah, bukan pula tipe pelancong yang tiap akhir pekan setor barcode ke petugas bandara itu.

Ataukah pengguna dan pemboros bahan bakar fosil? Kalau jaraknya dekat biasa jalan kaki dan bersepeda, kok!

Variabel isian tentang pemakaian tenaga surya atau angin? Ah, itu sepertinya masih jauh. Paling banter membeli power bank dan lampu senter sel surya. 

Begitu sadiskah parameter jejak karbon itu? 

Sepertinya ingin membalik peradaban ke era Jurasik dan Pangea!

Sebelum terjawab, terhiburlah duka jejak karbon personal saya ini oleh sapaan konsol aplikasi tersebut, "Respond with positive, practical actions".

Ya, saya rasa frase konsol itu adalah fraseologi kebijakan personal. 

Itu setara dengan pendahulunya, "carpe diem". Sebuah ungkapan dari penyair Horace (65 SM-8 SM), sering sekali direfleksikan dari bahasa Latin sebagai 'rebut hari'. 

Ungkapan lengkapnya fraseologi carpe diem itu adalah "quam minimum credula postero" yang berarti 'petik hari ini percaya sesedikit mungkin di masa depan'.

Kemudian dioprek menjadi "Gather ye rosebuds while ye may" yang mewakili makna trengginasnya sebuah asa positif dan praktis yang dipopulerkan oleh Lord Byron. 

Ketrengginasan asa positif dan praktis itu ada dalam karyanya tahun 1817, hingga kekuatan maknanya mampu menyatukan Inggris Raya.

Lalu apa maksudnya ini semua?

Saya mengharap refleksi fraseologi di atas terutama untuk diri saya sendiri dan juga bisa jadi baik untuk orang lain agar selalu berpikir positif dan gerak nyata.

Ya, jika itu dihubungkan dengan duka jejak karbon personal yang telah diukur oleh meteran karbon itu, saya harus terus berpikiran positif dan tetap semangat bergerak nyata walau kecil-kecilan.

Seperti tentang asa bungkus daun pisang, tentang pikiran positif logo daur ulang botol plastik, tentang jalan kaki, bersepeda atau ber-power bank dan bersenter sel surya itu.

Itu semua adalah usaha kecil nan sederhana yang berprinsip carpe diem untuk mengimbangi paparan jejak karbon di bidang sport tourism seperti pendakian gunung ini.  

Kecil dan sederhana, namun nyata dan aktif siap dukung net zero emissions di area sport tourism.

Bagaimana tentang paparan gas tabung kompor-komport tahan badai di tenda-tenda itu?

Atau juga tentang sampah-sampah plastik logistik perjalanan dan polutan kombusi api unggun selebrasi hedonis yang tak perlu itu?

Bagaimana pula dengan usaha yang berjenis 'besar-besar' untuk memangkas jejak karbon global?

Sebelum terjawab, saya ketuk layar aplikasi meteran karbon. Hening sejenak.

Lalu bangkit dari duduk dan meneruskan pendakian dengan terpincang menuju puncak gunung yang sedari tadi tampak terkekeh merundung manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun