- Â Apakah Ahok melaporkan dan mengembalikan pemberian fasilitas gratis tersebut ke KPK?, setahu saya tidak.
- Â Apakah pemberian fasilitas gratis tersebut patut diduga berhubungan dengan jabatannya? Ini yang perlu diselidiki lebih lanjut oleh penegak hukum, tapi kalau saya pribadi ketika ada konsultan politik yang memberikan sumbangan 500 juta+sewa kantor+jasa konsultansi paket lengkap pemenangan pilkada gratis yang nilainya miliaran rupiah, tentunya akan curiga, dan saya akan mempertanyakan apakah konsultan politik ini memberikan berbagai fasilitas gratis tersebut dengan dana sendiri atau dari dana orang lain yang punya keterkaitan dengan jabatan saya, atau bahkan apa mungkin konsultan Politik dan PR ini mengincar proyek sosialisasi Pemprov yang triliunan rupiah nilainya.
- Â Tapi Teman Ahok adalah badan hukum tersendiri dan terdaftar di departemen Kumham, tidak ada kaitannya dengan Ahok atau Cyrus Network. Praktek pengalihan tanggung jawab dengan menciptakan badan hukum yang seolah2 tidak ada kaitannya adalah biasa dan KPK sudah sering menghadapinya, ingat kasus videotron yang melibatkan anak menteri, dimana OB dijadikan Dirut perusahaan pemenang lelang?, dan itu tidak menghalangi penegak hukum untuk melanjutkan kasus tersebut (dan saya terus terang berharap anak2 muda tidak bersalah yang disebut sebagai pendiri teman ahok ini juga tidak terkena masalah hukum, karena mereka hanya dimanfaatkan saja)
- Â Mungkin saja sebenarnya Ahok sendiri yang mendanai Teman Ahok cq Cyrus Network, apa salahnya mendanai kampanye sendiri dengan uang halal. Diberbagai media Ahok secara terbuka telah menyatakan bahwa ia tidak keluar uang sepeserpun untuk mendanai Teman Ahok.
- Â Â Apa salahnya sih Ahok menerima bantuan gratis dari Hasan Nasbi/Cyrus Network, toh bukan berupa uang?. Ahok adalah pejabat negara, seperti yang anda lihat dari kutipan situs KPK diatas, bahwa gratifikasi adalah: Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
 Melihat berbagai fakta, aturan hukum, dan contoh kasus diatas, tentunya kita dapat melihat bahwa sebenarnya sudah tersedia berbagai bukti permulaan yang cukup bagi penegak hukum untuk memulai penyelidikan apakah terjadi pelanggaran hukum atas pemberian berbagai fasilitas gratis dari Hasan Nasbi tersebut kepada Ahok, atau tidak, akan tetapi sejauh ini saya belum melihat ada keperdulian dari KPK atau penegak hukum lainnya untuk menyelidiki kasus ini.Â
Saya tidak tahu mengapa KPK ataupun penegak hukum lainnya memperlakukan kasus ini berbeda dengan kasus Anas Urbaningrum sebelumnya, apakah Ahok yang merupakan Gubernur DKI petahana merupakan warga Negara kelas satu sementara Anas Urbaningrum yang waktu itu hanya anggota DPR biasa adalah warga Negara kelas dua?, sehingga tidak layak mendapat perlakuan yang sama, atau mungkin profesi konsultan politik itu terlalu suci dimata media sehingga penegak hukum tidak berani menyelidiki aliran uangnya, mengingat apa yang terjadi di kasus Anas Urbaningrum pun, hanya Anas yang dinyatakan bersalah menerima  gratifikasi, sementara pemberi gratifikasinya dibiarkan begitu saja.
Saya merasa mesti mengingatkan kembali kepada pembaca, bahwa kasus pemberian fasilitas gratis dari Hasan Nasbi ini terlalu besar dan rumit untuk di analisa oleh saya yang hanya orang biasa dan bukan penegak hukum, akan tetapi menurut saya demi mewujudkan prinsip keadilan yang layak bagi seluruh WNI hal ini mesti paling tidak menjadi perhatian serius bagi penegak hukum, mengingat fakta - fakta yang mencurigakan sudah jadi berita umum, dan bukan tidak mungkin hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap hal2 lain yang lebih besar, dan apabila ternyata memang ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Cagub petahana dibiarkan saja, hanya karena alasan Cagub tersebut populer (dan mungkin kepopuleran tersebut salah satunya dikarenakan faktor pemberian fasilitas gratis berupa konsultansi politik sebelum masa kampanye dimulai), hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia. Dan saya rasa bukan hanya saya sendiri yang bertanya2 seperti ini, saya berharap jurnalis2 senior yang belum terkooptasi oleh media2 sampah seperti mbak Unilubis, ataupun Pakar2 hukum seperti Prof Romli Atmasasmita dapat memberikan investigasi ataupun ulasan yang lebih baik.
Â
Â
Â