“Amak, Hanum ingin bicara.” ucap Hanum kepada Amak yang sedang membereskan anyamannya.
“Bicaralah, Amak tak banyak waktu.” Jawab Amak singkat.
“Lusa Hanum berangkat ke Pariaman mak, panggilan sudah datang.” Ucap Hanum.
“Amak tak punya banyak bekal buat kau pergi, bawalah ini buat simpanan kau disana.” Jawab Amak tak terduga oleh Hanum. Amak memberikan beberapa lembar rupiah untuk bekalnya, dibalik itu Amak sudah mempertimbangkan keberangkatan Hanum melanjutkan pendidikannya ke kota Pariaman.
“Apakah kau mengizinkanku pergi Amak? “ Ucap Hanum tak percaya.
“Hmmm.” Gumam Amak pergi dari hadapan Hanum.
Sedih bercampur senang, tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan setelah mendengar jawaban Amak, namun ia telah berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bulan menampakkan cahayanya di tengah malam yang sunyi, satu semester ini tidak terasa untuk seorang Hanum yang biasa dengan hidup kemandirian, sudah tiga bulan surat nya tak kunjung dibalas oleh sang Amak. Khawatir bercampur aduk perasaannya, bagaimana dengan keadaan Amak di desa. Hanum sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya di tempat baru ia tinggal. Ia mahasiswa penerima beasiswa, Amak tidak perlu memikirkan tanggungan bayaran kuliahnya dan untuk kebutuhan sehari-harinya sudah terasa cukup dengan uang saku yang diberikan oleh pemerintah kepada penerima beasiswa di kota ini.
Suara azan berkumandang dikala fajar mulai naik, Hanum membuka matanya melirik kesekitar ruang tidurnya, bayangan itu terus muncul bukan disaat ia bangun sebelum tidur pun terus saja menghantuinya. Bayangan yang diiringi rasa itu membuat pikirannya tak karuan entah apa itu, tapi ini kali pertama ia merasakannya. “Astaghfirullahaladzim, Hanumm!” gema istighfar dalam benaknya.
“Eh Hanum!” Ucap Rengganis menyapa Hanum yang sedang berjalan ke ruangan kelasnya.
“Rengganis..” Hanum menoleh sejenak kearah Rengganis.