Mohon tunggu...
Komunitas Penulis Unisma
Komunitas Penulis Unisma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Malang

Komunitas Penulis Mahasiswa Beasiswa Universitas Islam Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembalilah Hanum

29 Juni 2023   19:56 Diperbarui: 29 Juni 2023   19:58 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kembalilah Hanum

Rizka Aulia Hidayah

22201071066

Seorang wanita yang berharga tidak akan membuat dirinya tenggelam ke dalam gemerlapnya kehidupan.Wahai diriku maafkan dirimu.

Wajah teduhnya sudah lama terpulas waktu. Ia memandang cermin, mencoba mengulik perjalanan dari raut kesegeran dan elastisitas kulit yang pernah menutupi tulang tengkorak wajahnya. Ada kenangan yang dulu pernah ia miliki kembali menguak dari ingatannya, sesekali bagai tampilan potongan-potongan kisah film yang terpecah menjadi beberapa masa nan epik. Ada satu adegan kala kemudaan menjadi sorot dari beberapa pasang mata yang memuji kecantikan ragawi saat melekat kuat di raganya. Ada pula perjalanan masa saat sang kekasih menatap kuat di keelokkan dan sialnya tubuh yang pernah ia miliki. Namun, keluh itu pada akhirnya menukik pada napas panjang tanpa suara, mencari segala tampilan keindahan yang pernah ada.

Sesungguhnya ia ingin memutar waktu, Menuntutnya kembali ke pusaran awal. Namun, itu hanya sebatas keinginan. Absurditas kehidupan telah membawanya pada satu titik proses pengejawantahan dari yang ada akan menjadi tiada. Ia menyadari pada satu titik proses menjadi tanah. Jasad mengikuti proses pembentukan alam, alamiah dan akan mengikuti alur yang ada. Bergabung dengan segala hal kutu belatung hingga akhirnya kata “Manusia” hanya akan menjadi beberapa kalimat dari bait-bait puisi yang perna ia tulis.

Yang pasti, segala penyerta dari harta dunia seperti uang, emas, berlian, mutiara, rumah-rumah dan benda tak bergerak lainnya, lebih memukau untuk mereka yang pernah mengetahuinya. Atau barangkali hanya dianggap sebagai sosok tubuh manula yang masih memiliki daya pikat ketika semua benda itu belum dituliskaanya pada selembar surat kuasa yang dia miliki. Inilah salah satu sebab, mengapa dia masih menilai dari sosok-sosok yang mendekati dirinya sebagai semut seonggok gula. “Aku akan memulainya dengan penuh strategi, akan kumasukkan segala gestur yang paling manipulatif dari seluruh kehidupan yang pernah kujalani. Agar ketika waktu tiba, aku bisa tahu siapa saja dari mereka yang benar-benar tulus mengasihiku, siapa yang hanya berpura-pura dengan mengincar semua milikku.” Ujarnya dalam hati.

Kemudian waktu memberi kesempatan padanya, Hanum nama itu diterima tanpa sanggahan bercampur dengan suara lantang. Dia terlihat pasrah dan penurut, gadis polos berdarah Minangkabau sang pelindung Amak. Peristiwa demi peristiwa berlalu tanpa ada gejolak kisah yang membuatnya memperhatikan sebuah percakapan dengan antusias penuh. Para saudara kerabat yang senantiasa menemaninya, mulai mendeteksi perkembangan yang terjadi, Ketika ia bertanya “Namaku sekarang ada disetiap penjuru, ya? Apa ini sebuah penghargaan atau sebaliknya ujian pada diriku.”

Awalnya, sang anak yang merupakan satu-satunya putri yang ia miliki, memandang hampa ke sekitar halaman rumahnya. Ia menduga semuanya hanya berakting. Waktu yang bergulir perlahan, membuatnya mulai gundah kala melihat sahabat karibnya telah menyimpan nama baik keluarganya dengan diterimanya di kampus impian. Melihat Amak bersikap tidak seperti Amak yang dahulu, karena perekonomian yang terus menurun dan sosok ayah yang telah melepaskan perannya. Cerita masa lalu hanya memiliki topik yang monoton. Ia kerap menanyakan para orang tua yang telah pergi dari bumi dan terbang keawan-gemawan sana, apakah mereka akan selalu seperti itu sebelum meninggalkan bumi? Apakah memori masa lalu lebih kuat tertanam di benaknya ketimbang ingatannya tentang si anak.

“Tidakkah kau ingat impianku kala itu, Amak?” tanya Hanum.

            Sang Amak berpikir keras, mencoba menata rekahan-rekahan kenangan yang ada di ingatannya. Lalu katanya pada sang anak, “Aku menyerah, aku tidak ingat siapa dan tentangnya. Kalau tentang kau, ingatanku masih terpatri pada sosok bayi yang pernah kususui. Apakah kau memang benar bayi yang pernah menjadi anakku?” tanyanya dengan tatapan serius.

            Sang anak murung. Matanya berkaca-kaca. Perempuan berusia sekitar enam puluh tahun yang ada di hadapannya terlihat rapuh dan linglung. Namun, wajahnya tidak menunjukkan kalau ia sakit. Sepertinya ia berusaha menemukan jejak ingatannya yang hilang. Dan waktu bergulir dengan perkasa. Perasaan Hanum kian terpatri di seluruh rangkaian raga yang sesungguhnya akrab disapa anum ini, Tampaknya sekumpulan gejala yang memengaruhi kemampuan fungsi kognitif otak untuk mengingat, berpikir, bertingkah laku, dan berbicara mulai mengalami penurunan.

            Mentari menyambut pagi dihari yang cerah, secerah wajah Hanum ketika menampakkan senyumnya di atas panggung. Hari penyematan bagi siswa akhir di SMA Batu Sangkar Sumatera Barat. Hanum dengan selempang yang terpasang ditubuhnya ‘Siswa Berprestasi’ lulus dengan nilai A terpilih di beberapa perguruan tinggi yang ada di Indonesia bahkan manca negara. Suara hiruk piruk memenuhi tenda penyematan kelas akhir itu, pelukan canda ceria tangisan mengisi suasana hingga sore tiba.

            Berjalan sempoyongan ke arah gubuk yang ada di ujung hilir itu, sungguh hari yang sangat lelah namun senyum itu masih awet diwajah teduh Hanum ketika ia membayangkan betapa bangga Amaknya nanti ketika melihat sang anak membawa nama baik keluarganya.

            “Asalamualaikum Amak, Hanum pulang.” ucap Hanum membuka pintu rumahnya.

            Tampak Amak yang sedang menganyam daun mengkuang, jarak dengan pintu tidak terlau jauh namun tak ada sahutan jawab salam itu. Hanum duduk dihadapan Amak dengan melepaskan selempang yang ia kenakan.

            “Amak, ini untukmu. “ ucap Hanum menyodorkan selempang itu.

            “Simpan saja, nanti malah rusak kalau kau simpan sini.” jawab Amak tanpa melihat benda yang disodorkan Hanum.

            “Baiklah.” ucap Hanum dengan senyuman yang memudar, meneteskan air mata yang tak terbendung.

            Sampai kapan ini ya tuhan.

            Berhari-hari, berminggu, bahkan berbulan, Hanum bagai bunga edelweis ketika angin menghembus mengikuti arah ia pergi terombang ambing tanpa penguatan. Tiga hari lagi ia harus menentukan kemana ia akan melangkah, apakah menjaga wanita tua yang lupa akan arti kehidupan, atau melanjutkan masa depan yang sudah ia pegang. Tentu saja semua itu kembali pada restu sang Amak.

            Hari-hari Amak dikelilingi dengan anyaman daun mengkuang memproduksinya menjadi berbagai kerajinan sebagai penghasil uang untuk menunjang kehidupan sehari-hari nya dan Hanum. Hanum senantiasa membantu Amak ketika tugasnya sebagai pembantu juragan cabai telah selesai. Pikiran Hanum bagaikan ombak yang sedang naik arus tak beraturan, bagaimana cara ia izin kepada Amak untuk pergi kuliah keluar kota sedangkan keadaan keluarganya sedang tidak baik-baik saja.

            “Amak, Hanum ingin bicara.” ucap Hanum kepada Amak yang sedang membereskan anyamannya.

            “Bicaralah, Amak tak banyak waktu.” Jawab Amak singkat.

            “Lusa Hanum berangkat ke Pariaman mak, panggilan sudah datang.” Ucap Hanum.

            “Amak tak punya banyak bekal buat kau pergi, bawalah ini buat simpanan kau disana.” Jawab Amak tak terduga oleh Hanum. Amak memberikan beberapa lembar rupiah untuk bekalnya, dibalik itu Amak sudah mempertimbangkan keberangkatan Hanum melanjutkan pendidikannya ke kota Pariaman.

            “Apakah kau mengizinkanku pergi Amak? “ Ucap Hanum tak percaya.

            “Hmmm.” Gumam Amak pergi dari hadapan Hanum.

            Sedih bercampur senang, tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan setelah mendengar jawaban Amak, namun ia telah berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

            Bulan menampakkan cahayanya di tengah malam yang sunyi, satu semester ini tidak terasa untuk seorang Hanum yang biasa dengan hidup  kemandirian, sudah tiga bulan surat nya tak kunjung dibalas oleh sang Amak. Khawatir bercampur aduk perasaannya, bagaimana dengan keadaan Amak di desa. Hanum sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya di tempat baru ia tinggal. Ia mahasiswa penerima beasiswa, Amak tidak perlu memikirkan tanggungan bayaran kuliahnya dan untuk kebutuhan sehari-harinya sudah terasa cukup dengan uang saku yang diberikan oleh pemerintah kepada penerima beasiswa di kota ini.

            Suara azan berkumandang dikala fajar mulai naik, Hanum membuka matanya melirik kesekitar ruang tidurnya, bayangan itu terus muncul bukan disaat ia bangun sebelum tidur pun terus saja menghantuinya. Bayangan yang diiringi rasa itu membuat pikirannya tak karuan entah apa itu, tapi ini kali pertama ia merasakannya. “Astaghfirullahaladzim, Hanumm!” gema istighfar dalam benaknya.

            “Eh Hanum!” Ucap Rengganis menyapa Hanum yang sedang berjalan ke ruangan kelasnya.

            “Rengganis..” Hanum menoleh sejenak kearah Rengganis.

            “Buru-buru banget num, ada apa?” Tanya Rengganis melihat gerak-gerik Hanum.

            “Emmhh iya nis.” Jawab Hanum singkat.

            Tanpa menunggu Rengganis yang sedang memikirkan gelagat Hanum, Hanum pergi tanpa banyak bicara ia berjalan lurus dan tidak menuju arah kelas. “Ada apa dengan Hanum?” tersirat dalam benak Rengganis.

            Dengan suasana koridor yang sepi Hanum terasa lebih aman dibandingkan sebelumnya, “Huft.” Hanum menghelakan nafas setelah berhasil menghindar dari teman-temannya. “Hey!” panggil seorang lelaki yang berdiri dihadapannya. “Eh Amar” Jawab Hanum gelagapan. Amar duduk di samping Hanum yang tampak sedikit pucat. “Kau baik-baik saja?” Ucap Amar sambil menyodorkan sebotol air minum. Hanum hanya menggelengkan kepalanya untuk memberikan isyarat bahwa ia tidak apa-apa kepada Amar. “Di minum dulu” ucap Amar memberikan air tersebut kepada Hanum. “Terimakasih”.

            Aroma harum semerbak Narcissus papyraceus menyelimuti malam yang indah, indah dimata empat pasang mata dengan perasaan berkelut cinta. “Kau sangat cantik malam ini.” Ucap Amar apa adanya. “Kau bisa saja.” Jawab Hanum tersipu malu. Bagaimana dua tahun yang dilalui bersama dengan status yang didasari dengan rasa suka, bak bintang yang tak dapat dipisahkan dengan malam. Tangan berpegang erat Mata itu saling berbicara tanpa syarat “selamat tinggal kehormatan”.

            “ Kau lihat Hanum tidak?” tanya Rengganis pada teman sebangkunya.

            “Tidak nis, sudah dua hari aku tidak melihatnya.”

            Secercah lembaran putih bertebaran di ruang tidur Hanum, “Amak maafkan Hanum.” Kalimat itu sudah berpuluh ulang kali keluar dari mulutnya. Satu bulan yang lalu balasan surat Amak baru saja tiba, Amak sedang sakit di kampungnya itu saja tetangganya yang membalas surat Hanum.” Hancur Hanum hancur Amak” Hanum memeluk erat dirinya dengan tangisan membasahai wajahnya.

            Cahaya itu menembus bilik kamar Hanum, cuaca siang ini sangat panas, panas  matahari menyengat menembus pori-pori kulit membuat siapa saja berkeringat. Keringat itu menetes membasahi pakaian yang dikenakannya, ingat akan pakaian pemberian ibu aisyah sekilas ucapan itu tersirat kembali ‘Jangan tinggalkan sholat dan kewajibanmu nak, jika ada sesuatu yang terjadi di perantauan sana, pergilah kau ke surau basuhi dirimu berwudhu bersujud lah pada tuhanmu nak’ tangisan kembali pecah membasuhi wajahnya, ingat akan semua yang sudah terjadi pada dirinya. 

            “Saudara Amar!” Panggil seorang bapak berseragam abu

            “Iya benar saya Amar.”

            Tak dapat dipungkiri kabar yang diberikan bapak itu membuat dirinya bungkam seribu bahasa, “Aarrgghhhhh” amarahnya berkobar melempar barang yang ada didekatnya. Dengan pikiran berkalut amarah ia mengandari motor di luar batas kecepatan hanya satu tempat yang ia tuju mining bar disana ia bisa menenangkan segala pikirannya. Dalam satu waktu bersamaan sepasang manusia berharga dihidupnya pergi untuk selama-lamanya, Ibu dan ayah yang selalu menuruti semua kemauan Amar memanjakannya penuh kasih sayang pergi begitu saja, sosok adik kepercayaanya direnggut begitu saja kepemilikannya oleh bos tak beradab  “Brengsek” Ucapnya meneguk minuman beralkohol itu.

            “Rengganis, rengganis…” panggil Awan dari kejauhan

            “Apa wan?”

            “Kau ingat Amar? Alumni MA 1 Batu Sangkar?” tanya Awan.

            “Ya, ada apa dengan Amar”

            “Aku dengar dari kelas sebelah, dia sedang terkena musibah besar dan semalam kecelakaan tunggal.” Jelas Amar

            Hanum, satu nama yang terbenak dalam hati Rengganis dibalik kejadian yang baru saja ia dengar.

            “Dia mengalami benturan cukup kencang pada bagian kepalanya, cukup lama untuk menunggunya sadar dan pulih kembali.” Ucap dokter pada kerabat dan beberapa saudara Amar yang membesuknya di rumah sakit.

            Di penghujung bulan desember ini cuaca semakin ekstrim, hujan deras angin bertiup kencang dari hulu ke hilir. Angin itu mengibaskan hijab biru yang dikenakan Hanum, “Hanum..” bergema dalam benak Amak “Kau kah itu nak?” kembali memperhatikan sosok gadis yang berdiri dihalaman rumah.

            “Amak..”

            Dibalik jendela beralaskan kain hijau, seorang lelaki berperawakan tinggi memandang lingkungan sekitar di luar sana, tampak sejuk ramai nan indah. Sudah dua bulan ia dalam bilik yang sunyi hanya tetesan cairan infus yang terdengar menemaninya dalam kegelapan. “Karena Do'a hingga saat ini kamu masih bertahan pada apa yang kamu pinta,teruslah berharap dalam setiap sujudmu pada rabbmu jangan pernah berbalik arah atau menyerah” Kalimat itu bukan hanya sekali mengeluti pikiran Amar, namun bagaimana cara ia untuk memahami kata-kata yang diucapkan oleh dokter Hanif itu.

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun