Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akbar Pitopang Bincangkan Dukungan Orangtua hingga Dosa-dosa (Kita) dalam Dunia Pendidikan

18 November 2023   22:06 Diperbarui: 19 November 2023   08:19 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer, menurutmu mana PR dalam dunia pendidikan kita hari-hari ini yang perlu diselesaikan? Kolaborasi orangtua dan guru yang belum tampak? Atau justru perundungan yang dialami oleh para siswa dan guru?

Kompasiana baru-baru ini berbincang dengan Kompasianer Akbar Pitopang, pemuda yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah di Pekanbaru, Riau.

Menjadi seorang guru adalah profesi yang sejak lama ingin ditekuni oleh seorang Akbar Pitopang. Inspirasi itu datang dari Ibunda tercinta.

Akbar mengaku sangat kagum dan takjub terhadap perjuangan dan kegigihan Sang Ibu yang berprofesi sebagai guru dengan segala keterbatasan, namun mampu menghidupi kelima orang anaknya.

"Mendidik lima orang anak itu kan ngga gampang. Jadi dengan ketulusan, benar-benar bagaimana ya caranya agar anak-anaknya harus berhasil, menjadi anak-anak yang berguna dan jadi "orang" semua. Jadi itu motivasi saya menjadi guru, menjadi sosok inspiratif seperti Sang Ibu," ungkapnya.

Keseriusannya menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa ini sudah dilakukannya sejak kuliah dengan fokus program studi Manajemen Pendidikan Islam. Sejak pertama kali mengajar dia mengaku lebih banyak senangnya, ketimbang duka.

"Sukanya, kita bisa mengenali beragam karakter siswa. Ini juga jadi pembelajaran bagi saya yang seorang guru muda ini. Saya kan juga sudah jadi orangtua di rumah, anak saya nanti semakin besar. Jadi pendekatan saya kepada para siswa ini nanti akan membawa bagaimana pendekatan saya kepada anak saya saat mendidik. Jadi dengan saya mengajar ini akan membawa hal-hal positif dan dapat pula diterapkan ke anak," katanya.

"Dan apa yang saya dapat dalam mengajar ini saya bisa bagikan kepada masyarakat, mengedukasi masyarakat, dan berkolaborasi dengan masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri," imbuhnya.

Akbar juga mengaku bahwa ia telah memantapkan dirinya sebagai seorang guru. Dia beralasan: menjadi guru adalah jalan beramal sepanjang hayat.

"Karena niat yang mengawali (jadi guru) adalah amal jariyah. Kalau kita jadi guru kita dan bisa berhasil mendidik siswa, mengubah karakternya, ilmu yang diajarkan diamalkan itu pahalanya terus sampai di akhirat. Jadi itu tujuan saya jadi guru," sebutnya.

Di sisi lain, dari obrolan kami yang berlangsung lebih dari satu jam itu, tampak bahwa masih ada segudang PR dalam dunia pendidikan kita hari-hari ini.

Dari segudang PR tersebut, ada satu hal yang mungkin kita masih alpa, yakni dukungan masyarakat, atau orangtua khususnya, kepada guru dalam mendidik.

Akbar menilai dukungan orangtua sangat penting terhadap guru, dan utamanya kepada anak itu sendiri. Karena bagaimanapun, menurutnya, orangtua adalah pendidik utama dan sebenar-benarnya pendidik.

Namun sayangnya masih ada yang orangtua yang beranggapan bahwa urusan pendidikan akan selesai di sekolah. Hal tersebut menjadi pemahaman yang keliru. Pasalnya, orangtua tak lain dan tak bukan merupakan sekolah utama bagi seorang anak dalam mendapatkan pendidikan. Sementara itu, guru dan sekolah merupakan sekolah lanjutan bagi para murid

Dalam kalimat lain, serta-merta melepaskan tanggung jawab mendidik anak dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada guru adalah pandangan keliru.

Sebab waktu anak di sekolah tidak lebih banyak dengan waktu dengan keluarga di rumah.

"Kalau orangtua tetap lepas tangan, tidak ada kontrol, tidak ada tanggung jawab, artinya proses pendidikan yang sudah dilakukan oleh guru sia-sia. Jadi kalau tidak ada dukungan dari orangtua, bagaimanapun, sehebat apapun, seorang guru dalam mendidik kan pasti tantangannya akan lebih besar lagi," kata Akbar.

Dengan demikian, kolaborasi antara orangtua dengan guru adalah salah satu kunci pendidikan saat ini. Ketika orangtua dan guru bekerja sama, anak akan mendapatkan pembelajaran yang lebih baik.

Tak kalah penting dari dukungan orangtua kepada guru adalah menekan perundungan yang kerap terjadi di sekolah, persoalan yang kini menjadi salah satu "dosa besar pendidikan" kita hari ini.

Data Federasi Serikat Guru Indonesia, sebagaimana dilansir dari Republika dan Katadata, menunjukkan sejak Januari hingga Agustus 2023 kasus perundungan di lingkungan sekolah paling banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proporsi 25% dari total kasus.

Kemudian di lingkungan Sekolah Menengah Akhir (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 18,75%, dan di lingkungan Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren sebesar 6,25%.

Data FSGI juga menunjukkan, jumlah korban perundungan selama paruh pertama 2023 sebanyak 43 orang, dengan 41 orang korban berasal dari peserta didik dan dua lainnya adalah guru.

Sementara pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik, yaitu sejumlah 87 orang pelaku. Diikuti oleh pendidik (5 orang), orangtua (1), dan kepala madrasah (1).

Akbar berpendapat bahwa kontrol orangtua terhadap anak memainkan peran krusial dalam menekan perundungan, terutama terkait konsumsi gadget dan media sosial.

Selain itu orangtua perlu berkomunikasi secara terbuka dengan guru agar dapat membantu mengidentifikasi dan mengatasi perundungan dengan lebih baik. Dengan kontrol dan pendidikan yang baik secara tidak langsung orangtua turut mendukung pendidikan yang diberikan oleh guru.

Berkaca dari kondisi saat ini di mana kekerasan di kalangan masyarakat semakin meningkat, kurangnya rasa hormat terhadap orangtua dan guru, serta munculnya rasa curiga dan kebencian antarsesama, pendidikan karakter menjadi hal yang tidak boleh luput.

Demi menekan itu, selain orangtua, masyarakat pun turut memiliki peran penting dalam menyukseskan pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai etika dan estetika kepada peserta didik.

Menurut Akbar, berbagai upaya selalu diterapkan sekolah demi membentuk pribadi siswa lebih baik. Akan tetapi, menurutnya, tantangan di luar selalu lebih besar. Sebab, kata Akbar, tak jarang justru orangtua menjadi pelaku perundungan itu sendiri.

"Jadi di sebuah sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler bela diri. Nah, anak yang lebih berisi itu kan agak kesulitan gerakannya dalam menunjukkan jurus-jurus bela diri. Orangtua yang melihat malah menyoraki. Itu kan sudah termasuk perundungan. Sesuatu yang tidak sepantasnya. Orangtuanya saja seperti itu, jadi otomatis anaknya pasti ngga akan jauh beda. Jadi kesadaran orangtua untuk ikut mencabut akar permasalahan perundungan ini belum menjadi perhatian serius. Masih banyak orangtua  yang sepele dan kurang perhatiannya," bebernya.

Sedikit pengalaman atas kondisi pendidikan itu tadi paling tidak dapat membuka mata kita. Bahwa, kolaborasi antara orangtua dan guru sangat diperlukan agar anak atau siswa benar-benar mendapatkan pembelajaran dan pendidikan yang optimal. Sebab bagaimanapun, jangan pernah renggut hak anak dalam menerima pendidikan yang layak.

Dalam memperingati Hari Guru Nasional 2023, Kompasiana berkolaborasi dengan Kompasianer Akbar Pitopang untuk mengajak sekaligus menantang kamu bagaimana meningkatkan kolaborasi antara orangtua dan guru demi pendidikan anak atau siswa yang lebih baik, serta bersama-sama perlunya mengentaskan perundungan dalam dunia pendidikan.

Jadi, buat kamu yang sudah ngga sabar untuk ikutan Topik Pilihan Kolaborasi ini, tunggu info selanjutnya, ya!

Oh iya, ngomong-ngomong Kompasianer masih ingat ngga alasan atau motivasi apa yang membuat kamu menjadi seorang guru?

Yuk, utarakan juga ceritanya ya dalam Topik Pilihan Kolaborasi kali ini. Kita semua jadi ikut penasaran dan mau tahu selengkapnya, loh..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun