Di sisi lain, dari obrolan kami yang berlangsung lebih dari satu jam itu, tampak bahwa masih ada segudang PR dalam dunia pendidikan kita hari-hari ini.
Dari segudang PR tersebut, ada satu hal yang mungkin kita masih alpa, yakni dukungan masyarakat, atau orangtua khususnya, kepada guru dalam mendidik.
Akbar menilai dukungan orangtua sangat penting terhadap guru, dan utamanya kepada anak itu sendiri. Karena bagaimanapun, menurutnya, orangtua adalah pendidik utama dan sebenar-benarnya pendidik.
Namun sayangnya masih ada yang orangtua yang beranggapan bahwa urusan pendidikan akan selesai di sekolah. Hal tersebut menjadi pemahaman yang keliru. Pasalnya, orangtua tak lain dan tak bukan merupakan sekolah utama bagi seorang anak dalam mendapatkan pendidikan. Sementara itu, guru dan sekolah merupakan sekolah lanjutan bagi para murid
Dalam kalimat lain, serta-merta melepaskan tanggung jawab mendidik anak dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada guru adalah pandangan keliru.
Sebab waktu anak di sekolah tidak lebih banyak dengan waktu dengan keluarga di rumah.
"Kalau orangtua tetap lepas tangan, tidak ada kontrol, tidak ada tanggung jawab, artinya proses pendidikan yang sudah dilakukan oleh guru sia-sia. Jadi kalau tidak ada dukungan dari orangtua, bagaimanapun, sehebat apapun, seorang guru dalam mendidik kan pasti tantangannya akan lebih besar lagi," kata Akbar.
Dengan demikian, kolaborasi antara orangtua dengan guru adalah salah satu kunci pendidikan saat ini. Ketika orangtua dan guru bekerja sama, anak akan mendapatkan pembelajaran yang lebih baik.
Tak kalah penting dari dukungan orangtua kepada guru adalah menekan perundungan yang kerap terjadi di sekolah, persoalan yang kini menjadi salah satu "dosa besar pendidikan" kita hari ini.
Data Federasi Serikat Guru Indonesia, sebagaimana dilansir dari Republika dan Katadata, menunjukkan sejak Januari hingga Agustus 2023 kasus perundungan di lingkungan sekolah paling banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proporsi 25% dari total kasus.
Kemudian di lingkungan Sekolah Menengah Akhir (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 18,75%, dan di lingkungan Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren sebesar 6,25%.