Masa-masa paling indah boleh saja kita sematkan pada masa berseragam abu-abu. Tapi masa-masa paling dikenang sulit rasanya menolak ingatan pada masa kuliah, terlebih akhir masa perkuliahan.
Pada masa tersebut setiap mereka penyandang status mahasiswa dipastikan untuk menghadapi sebuah tugas menantang, sebelum betul-betul tersematkan label sarjana. Tugas itu dinamakan skripsi.
Skripsi sendiri sebenarnya punya arti penting bagi mahasiswa. Sebagai tugas akhir pada tingkat sarjana, skripsi adalah bentuk pengakuan atas kemampuan dan keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.
Sebab, boleh dikatakan skripsi adalah semacam uji kompetensi seorang mahasiswa apakah dia layak menyandang status sarjana atau tidak. Atau dengan kata lain, tanpa melewati itu, tidak akan ada status sarjana bagi seorang mahasiswa.
Memang betul, skripsi bukanlah hal mudah untuk dikerjakan. Selain karena ini adalah pengalaman pertama bagi mahasiswa, membuat skripsi yang ilmiah dan kompeten butuh ketelitian dan kesabaran.
Namun, sebelum sampai situ, rupanya banyak mahasiswa yang kebingungan untuk memulai. Sehingga tidak sedikit mahasiswa yang butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikan skripsi. Lain itu kesulitan dalam menentukan topik skripsi yang tepat dan memahami metodologi penelitian yang diperlukan juga menjadi faktor terhambatnya mahasiswa.
Lalu bagaimana ya caranya untuk menyelesaikan skripsi bagi seorang mahasiswa? Apa saja yang harus dilakukannya?
Baru-baru ini Kompasiana berbincang dengan Kompasianer Muda Cintia Gita Pramesi. Kami membahas segala hal tentang skripsi hingga suka dukanya. Dia pun membagikan tipsnya untuk para mahasiswa yang ingin bisa cepat lulus.
Kompasianer Cintia merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Boleh dikatakan Kompasianer Cintia terbilang cepat menyelesaikan studinya, yakni 3,5 tahun.
Berdasarkan pengakuannya, 3,5 tahun memang jadi target dirinya sejak awal mengenyam bangku perkuliahan. Meski, diakuinya, memang butuh semangat dan pengorbanan kuliah yang tidak-main-main.
Dia menyebut untuk mewujudkan itu dibutuhkan kesadaran bertanggung jawab dan komitmen.
Selain dua hal tersebut, menentukan prioritas dan manajemen waktu--yang mana keduanya dibutuhkan oleh mahasiswa saat ini--dapat membantu mencapai target-target yang ingin dicapai.
"Untuk bisa komitmen dengan prioritas itu kita harus sadar dulu dengan tanggung jawabnya di mana. Karena saya kuliah, saya bertanggung jawab dan komitmen untuk kuliah. Ketika kesadaran bertanggung jawab sudah ada, menentukan prioritas akan muncul dengan sendirinya," katanya.
Memiliki kesadaran bertanggung jawab itulah yang pada akhirnya membawa Kompasianer Cintia dapat menyelesaikan tugas akhirnya dengan cepat.
Seperti mahasiswa lainnya, sebelum memulai skripsi, Kompasianer Cintia juga dihadapi tugas untuk membuat seminar proposal. Kendati, menurutnya, masih banyak mahasiswa yang menganggap bahwa seminar proposal adalah mata kuliah biasa seperti mata kuliah lainnya. Padahal, tidak demikian. Seminar proposal ini penting sebagai salah satu syarat menyelesaikan untuk skripsi.
Menyelesaikan seminar proposal perlu dipersiapkan dengan matang. Sebab, menurut Kompasianer Cintia, seminar proposal yang tidak dipersiapkan dengan baik hanya akan menghasilkan dua hal, ditolak atau dirombak total.
"Sangat disayangkan kalau sudah seminar proposal tapi harus dirombak dari awal, apalagi ketika teman-teman yang lain sudah maju bab 4 atau bab 5. Karena harus dirombak kita jadi harus dari bab 1 lagi," ujar perempuan 22 tahun ini.
Karena itu pula Kompasianer Cintia menyarankan untuk mempersiapkan seminar proposal dimulai dari rumusan masalah, bukan judul skripsi. Sebab, tidak semua judul skripsi terdapat masalah.
"Misalnya mau tahu strategi komunikasinya Kompasiana. Namun ketika ditanya memang ada masalah apa di sana sampai-sampai mau meneliti strategi komunikasinya. Kalau jawabnya cuma ingin saja ya ngga bisa. Ngga ilmiah, kan? Kecuali Kompasiana tuh sukses terus, setiap tahun ada growth-nya. Nah itu bisa diteliti strategi komunikasi Kompasiana dalam meningkatkan minat mahasiswa menulis artikel. Masalahnya apa? Masalahnya Kompasiana setiap tahun tumbuh terus, ingin tahu apa penyebabnya sehingga mahasiswa yang menulis artikel di Kompasiana siapa tahu berguna bagi yang lain," bebernya.
Selanjutnya adalah izin. Dia menyarankan bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian terhadap sebuah perusahaan atau lembaga memberikan izin untuk diteliti.
"Karena kalau tidak ada izin dan ujug-ujug minta wawancara atau data ke perusahaan atau lembaga yang dituju kan pasti ditolak," katanya.
Kemudian dia menyarankan untuk memperkuat referensi dengan sumber-sumber kredibel, baik dari jurnal maupun buku.
"Menurutku referensi harus kuat. Sumbernya harus kredibel. Misalnya dari jurnal-jurnal terpercaya atau buku-buku para pakar atau para ahlinya. Supaya kuat juga isi dari penelitiannya," ujarnya.
Terakhir adalah bimbingan. Untuk satu ini, ngga mungkin kan kalau kamu malas atau bahkan ngga pernah bimbingan tiba-tiba maju sidang?
Ngomong-ngomong soal bimbingan, ini juga tak kalah menarik, lho. Terutama bagaimana cara dan etika menghubungi dosen.
Kompasianer Cintia mengungkapkan sebelum menghubungi dosen pembimbing ada baiknya mencari tahu lebih dahulu bagaimana dosen tersebut, seperti bagaimana dia mengajar di kelas atau bagaimana karakter sang dosen.
Menurut Kompasianer Cintia kita mencari tahu lewat kakak kelas di kampus atau mahasiswa lainnya yang sudah bimbingan dengan dosen tersebut lebih dulu. Hal ini nantinya akan membuat kita mudah berkomunikasi dengan dosen.
"Kita jadi bisa ada gambaran di kelas nanti bagaimana, kalau mau chat dosen itu bagaimana," terang peraih beasiswa dari sebuah perusahaan swasta ternama di Indonesia.
Terkait bagaimana cara dan etika menghubungi dosen Kompasianer Cintia menyebut ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perkenalkan diri. Kedua, jelaskan tujuan. Dan ketiga berterima kasih.
"Basic manner-nya seperti itu," jelasnya.
Melakoni mahasiswa akhir dan bergelut dengan skripsi tak jarang menghabiskan begitu banyak waktu dan energi. Selama menjalani lakon itu pula jalan terjal kerap dialami.
Kompasianer Cintia pernah mengalami perbedaan penilaian antara dua dosen pembimbingnya yang membuat bingung dan khawatir skripsinya tidak dapat diselesaikan tepat waktu karena sudah mendekati tenggat waktu pendaftaran sidang.
Suatu saat, dalam sesi bimbingan, Cintia melakukan bimbingan skripsi kepada dosen pendamping 2, bukan kepada dosen pembimbing utama. Meskipun sang dosen pendamping 2 memberikan penilaian yang bagus atas hasil penelitian dan teknik penulisannya, namun sang dosen utama memiliki penilaian yang berbeda. Dosen pembimbing utama menyatakan bahwa seluruh teknik penulisan yang digunakan oleh Cintia keliru dan tidak sesuai buku panduan, sehingga dia harus merombak teknik penulisan dari bab 1 sampai dengan bab 5. Untungnya, Kompasianer Cintia bisa menyelesaikannya dalam waktu 2 hari.
Selain itu, merasa tertinggal dari rekan sejawat dalam mengerjakan skripsi, diungkapkan Kompasianer Cintia, turut membuatnya hampir menyerah.
Lain itu, merasa tertinggal dari rekan sejawat dalam mengerjakan skripsi, diungkapkan Kompasianer Cintia, turut membuatnya hampir berputus asa. Dia merasa FOMO dari apa yang sudah dilakukan teman-temannya. Alasannya, Â menyebut bahwa saat itu dirinya tengah tertinggal satu bab.
Pikiran negatif pun menghantuinya. Ketakutan akan tertunda hingga satu semester lagi menyebabkan dirinya enggan melanjutkan skripsinya lagi, hingga dua minggu.
"Pas ngerjain udah pengen nangis gitu, kan. Ya ngga tau nge-blank. Teman-teman saya juga merasakan. Tapi memang seharusnya fokusnya dengan progress diri sendiri, bukan orang lain," kenangnya.
Namun, dari situ dia sadar bahwa setiap orang memiliki tantangan dan cara yang berbeda-beda dalam membuat skripsi.
Karenanya, bagi Kompasianer yang sedang mengerjakan skripsi kamu jangan terlalu khawatir banget kalau rekan-rekanmu sudah lebih dulu dari kamu. Lebih baik kamu fokus saja sama apa yang sedang kamu kerjakan dan progress-nya. Alon-alon asal kelakon, kata pepatah.
Sekali lagi, seperti kata Kompasianer Cintia, setiap mahasiswa itu punya tantangan dan cara yang berbeda dalam menyelesaikan skripsinya.
Lagi pula, bukankah dari judul, topik, hingga dosen pembimbing skripsi toh juga berbeda-beda?
Nah Kompasianer, apakah kamu juga punya pengalaman serupa selama menyelesaikan skripsi? Adakah tips yang bisa kamu bagikan?
Atau sebagai dosen pembimbing punya cerita dan pengalaman yang bisa dibagikan kepada mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi?
Eits sabar dulu...
Kali ini Kompasiana berkolaborasi dengan Kompasianer Cintia Gita Pramesi untuk mengajak kamu berbagi cerita, pengalaman, hingga tips seputar skripsian.
Bagi kamu yang sudah engga sabar, tunggu tanggal tayangnya, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H