Apalagi, menurut dr. Andri, sistem jaminan kesehatan Indonesia telah memadai lantaran sudah menanggung pengobatan penyakit kejiwaan. "BPJS itu bagus lho, menanggung penyakit jiwa. Mahal-mahal lagi, obatnya. Dibayari, bertahun-tahun!"
Sekarang para tenaga kesehatan sudah dibekali pengetahuan dan wawasan mengenai kesehatan jiwa. Karenanya dr. Andri menyarankan jika memang mulai merasakan gejala gangguan kesehatan jiwa, sebaiknya langsung datang saja ke Puskesmas.
"Datang saja ke nakes siapa pun yang dekat. Bisa perawat, dokter, sampai psikolog. Setelah itu jika memang butuh penanganan lebih lanjut akan dibuatkan rujukan," ungkap dr. Andri menjelaskan langkah penanganannya. "Cemas itu disadari. Cemas adalah sinyal wajar, bagian dari pertahanan tubuh kita."
Mahasiswa Angkatan Reformasi yang Gemar Menulis Puisi
Dokter Andri sempat bingung memilih jurusan kuliah selepas lulus SMA. Ia ragu mengikuti jejak profesi ayah dan ibunya sebagai pedagang.
Akan tetapi, anak tengah dari 3 bersaudara ini menyadari perannya sebagai anak dan cucu laki-laki pertama. Dalam budaya Tionghoa, menjadi anak dan cucu  laki-laki pertama mengharusnya dirinya mengambil peran sebagai "penjaga rumah". Ia pun berpikir, pekerjaan apa yang sekiranya sesuai dengan minatnya dan tetap memungkinkannya menjadi "penjaga rumah"?
"Saya mendaftar ke Fakultas Kedokteran UI dan Sipil Untar. Sebenarnya kalau keturunan Tionghoa gak ambil ekonomi kok lucu. Tapi saya pikir sudah banyak orang kuliah ekonomi," ungkapnya, sambil tertawa.
Ia berpikir bahwa menjadi dokter itu bisa menolong orang, tapi tetap dibayar juga. "Saya suka pekerjaan seperti itu."
Singkat cerita dr. Andri akhirnya diterima Fakultas Kedokteran UI pada tahun 1997. Mengenang masa-masa awal kuliah dulu, dr. Andri ingat betul pernah diminta oleh seniornya membaca buku Soe Hok Gie "Catatan Seorang Demonstran".
"Saya bingung, kenapa mau kuliah kedokteran mesti baca buku begituan?" kata dr. Andri, sambil tertawa.
Baru menjalani setahun perkuliahan, kerusuhan 1998 pecah. Sebagai seorang yang tak begitu mengetahui jalanan Jakarta, dr. Andri bingung mesti ke mana untuk menyelamatkan diri.