Kontribusi wanita untuk merdeka masih minim. Lihat saja pada kontribusi wanita dalam dunia pekerjaan di pasar tenaga kerja Indonesia. Setiap tahun masih stagnansi di angka kontribusi yang kecil.
"Pemikiran sejenis feminisme yang kontra dengan patriarki di Indonesia sendiri masih sering sekali memperoleh penolakan publik," lanjutnya.
Hal tersebut dilihat oleh Kompasianer Devidia Tri bahwa feminis dianggap sebagai perlawanan terhadap dogma, agama.
Ada saja feminis yang salah alamat dengan mendeklarasikan dirinya feminis namun kemudian menjadikan alasan untuk membenci pria. (Baca selengkapnya)
3. Standar Kecantikan, Perspektif Personal atau Konstruksi Media?
Stereotype mengenai definisi cantik lainnya, tulisnya, tampak selalu menjadi patokan dasar bagaimana seseorang menilai dan memilah perempuan bedasarkan bentuk visual yang ditampilkannya.
"Cantik boleh saja di definisikan, namun nampaknya respon terhadap perilaku seseorang seringkali dipilah-pilah bedasarkan kondisi fisik yang ditampilkan baik itu laki-laki maupun perempuan," tulis Kompasianer Aulia Marta.
Dari amatannya, hal tersebut bisa dipengaruhi oleh kontruksi dari media sosial.
Namun yang harus diketahui, standar kecantikan seharusnya tidak memberatkan perempuan hingga harus melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya dalam mengubah bentuk fisik mereka agar dapat dihargai publik.
"Perempuan Indonesia, dengan segala cantik versinya, warna kulitnya, bentuk rambutnya, dan tipe wajah yang dimilikinya semuanya merupakan anugerah dari keberagaman," lanjutnya. (Baca selengkapnya)