Mohon tunggu...
Devidia Tri Ayudiansyah
Devidia Tri Ayudiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - #akuberpikirmakaakuada

Nulla Tenaci Invia Est Via~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Feminisme Part 1: Puan yang Merayau

14 Mei 2020   09:57 Diperbarui: 14 Mei 2020   11:46 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak (Foto: Shutterstock via Kompas.com)

"Each suburban wife struggles with it alone. As she made the beds, shopped for groceries, matched slipcover material, ate peanut butter sandwiches with her children, chauffeured Cub Scouts and Brownies, lay beside her husband at night, she was afraid to ask even of herself the silent question. Is this all?" --Betty Friedan-

Tahun 2020 sebelum semuanya apa-apa serba dari rumah ini, saya ingat ada percakapan menarik dengan seorang ibu muda. Tepatnya saat sebelum bimbingan menetapkan mata kuliah tempuh dengan dosen pembimbing akademik saya. 

Saya datang paling akhir saat itu di antara teman yang lain. Dan di tempat yang teman-teman duduki, ada seorang ibu sedang mengasuh anaknya. Lantas saya tersenyum.

Ibu itu kemudian mulai banyak bercakap setelah saya datang.  Mulai dari menanyakan keperluan apa yang saya dan teman-teman akan kerjakan, hingga juga curhat.

"Ngapain Mbak sekolah tinggi-tinggi. Dulu saya kayak samean (red: kamu), kuliah. Punya cita-cita juga. Lah, pada akhirnya ya di dapur. Nyuapin anak, momong (red: mengasuh) anak. Kalau cewek ya ndak bisa, Mbak," ujarnya. 

Raut wajahnya menggebu-gebu ingin melontarkan segala kekesalan. Saya hanya memilih melontarkan sanggahan seperlunya. Mau meluruskan pemikiran ibu itu juga, saya sendiri belum bisa membuktikan.

Yah tepatnya pada waktu itu saya masih punya teka-teki tersendiri akan seperti apa idealnya siklus hidup wanita. Banyak percakapan singkat dengan kawan, sayangnya sama-sama kami berakhir dengan argumen idem.

"Oiyo seh, wedie anak'e gak genah lek wedok pisan kerjo." (red: Oiya sih, ditakutkan anaknya berkepribadian tidak baik jika orang tua perempuan juga kerja) 

Lagi-lagi berpikir layaknya seorang patriarki masih tersemat. Padahal tanggung jawab mendidik anak bukan sepenuhnya dibebankan pada wanita saja, idealnya. 

Karena memang pria kodratnya bukan hanya sebagai pencari nafkah. Mendidik anak itu tanggung jawab kedua belah pihak. Tidak ada indikasi yang mengharuskan wanita saja untuk menanggung.

Ibu yang bercakap dengan saya itu salah satu dari korban pemikiran patriarki yang masih membudaya. Hingga melemahkan kaum perempuan sendiri untuk tidak belajar karena anggapan nantinya merawat anak, atau juga tidak berkarya karena akan ada beban dari keluarga di kemudian hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun