Setelah begitu panjangnya pembahasan mengenai pajak bagi Pelanggan atau konsumen layanan digital, akhirnya mulai 1 Juli 2020 pemerintah resmi memberlakukan aturan pemungutan pajak dari perusahaan digital asing seperti Netflix, Spotify, Amazon, dkk.
Akan tetapi konsumen tidak perlu bingung, sebab aturan ini mulai berlaku hari ini, pemungutan pajak baru akan dilakukan pada bulan Agustus mendatang.
Pelanggan atau konsumen layanan digital bakal dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Jika sudah dikenakan pajak, tentu saja, mungkin akan berimbas pada harga langganannya. Namun, akankah ada penurunan jumlah orang-orang yang selama ini sudah berlangganan -atau jusru sebaliknya?
Selain topik mengenai pajak yang akan dikenakan pada perusaan digital, masih ada konten-konten menarik lainnya yang pada pekan ini, seperti cerita pekerja proyek hingga nasib para nasabah jika masih menunggak.
Inilah konten-konten menarik dan terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:
1. Membedah Soal "Pajak Netflix" yang Mulai Berlaku Hari Ini
Sebenarnya pengenaan pajak pada perusahaan digital ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa. Hal tersebut dinamakan Nexus Tax.
Pada prinsipnya, nexus tax ini melihat subyek pajak tidak perlu lagi kepada ada tidaknya suatu entitas legal (contoh: Netflix tidak memilik kantor di Indonesia) tetapi dari manfaat ekonomi yang diperoleh oleh suatu entitas tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan manfaat ekonomi tersebut Netflix, misalnya, dapat dikukuhkan sebagai Wajib Pajak di Indonesia dan mengenakan PPN atas transaksinya di Indonesia.
Walaupun terkesan canggih, tulis Kompasianer Rizqa Lahuddin, model bisnis Netflix masih memiliki prinsip yang sama dengan bisnis pada umumnya.
"Untuk mendapatkan penghasilan dari langganan yang dibayar oleh pelanggan, mereka memerlukan biaya. Dan biaya-biaya ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Netflix," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
2. Siapa Bilang Bekerja di Proyek Itu Tidak Enak?
Kompasianer Taufiq Rahman bagaimana bekerja di proyek sungguh banyak cerita dan hikmah yang bisa diambil. Terlebih, ketika itu, masa-masa setelah reformasi saat ia masih bekerja pada proyek yang didanai asing.
Namun, lewat perkerjaan-pekerjaan proyek itulah yang membuat Kompasianer Taufiq Rahman berpindah-pindah: dari Jakarta, Bojonegoro, Balikpapan, Pontianak, Medan, Pekanbaru, Perawang, Duri, Denpasar, Batam, Cilacap, dan lainnya.
Kali pertama bekerja di luar negeri, yaitu Seoul, Korea Selatan pada 1999. Ketika bekerja di sana, ia menyaksikan langsung bagaimana Seoul (Korea Selatan) tumbuh menjadi negara industri.
Nah, yang membuat bekerja di proyek-proyek itulah Kompasianer Taufiq Rahman menyadari satu hal: mengerti sifat manusia yang beragam dari banyak wilayah maupun negara.
"Karena saya bekerja di proyek-proyek besar, saya berteman dengan banyak karyawan dari banyak negara dan ragam kebudayaan," tulisnya.
Orang-orang Eropa dan Amerika, lanjutnya, sebagaimana dicirikan sebagai orang terpelajar, langkahnya lebih pelan dari orang Jepang dan pandai melakukan negosiasi. (Baca selengkapnya)
3. Nasabah Menunggak di Kota Kecil, Bakalan Repot Bila Kantor Pembiayaannya Ditutup
Apakah pernah terbersit pertanyaan: bagaiamana jika ada nasabah yang masih mimiliki tunggakan di sebuah kota kecil, tapi kantor pembiayaannya sudah tutup? Bagaimana mesti mengatasinya?
Kompasianer Adolf Isaac Deda memaparkan 3 cara untuk mengatisipasinya dan kita bisa belajar agar tetap dimudahkan pada urusan ke depannya.
Sebab, tidak sedikit, ada saja nasabah yang masih menunggak datang ke lain bank untuk membuat pengajuan peminjaman dan minta diproses cepat.
Bila sudah ikut program relaksasi, tulisnya, jangan lupa bayar cicilannya pada waktu yang sudah disepakati.
"Di kantor program keringanan kredit ini sudah mulai dari Bulan April awal. Sebagian nasabah minta dipending ke Bulan Juni. Sekarang sudah Bulan Juni, namun masih ada satu dua (tak semuanya ya), yang mangkir pembayaran," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
4. Katanya Sayang, Kok "Body Shaming"?
"Body Shaming" bukan lelucon. Penghinaan fisik--yang kerap kita sebut body shaming--juga bukan bahan lelucon. Tidak ada yang layak ditertawai dari kondisi fisik seseorang.
Sesungguhnya "body shaming" lebih mirip sebuah intimidasi verbal: bisa berupa  ejekan, ledekan, dan hinaan.
Yang jauh lebih menyakitkan, justru, orang yang kita cintai atau orang terdekat merasa lebih enteng menghina fisik orang yang, barangkali, sebenarnya ia sayangi.
Alasannya, tulis Kompasianer Amel Widya, sebab mereka merasa ada kedekatan emosional dengan korban.
"Mereka menganggap bahwa korban tidak akan tersinggung walau dihina separah apa pun, padahal tidak ada yang tahu dengan pasti isi hati orang lain," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
5. Membaca Gambar, Cara Sederhana Agar si Kecil Bisa Membaca
Selain memikirkan nasib anaknya akan sekolah di mana pada tahun ajaran baru, para orangtua juga memikirkan bagaimana anaknya tetap bisa mengikuti kegiatan belajar-mengajar ketika nanti sudah kembali ke sekolah.
Untuk menapaki jenjang SD, misalnya, seorang anak harus dipersiapkan untuk bisa "masuk" ke lingkungan baru.
Pada tahap inilah, tulis Kompasianer Zahrotul Mujahidah, mengingat anak baru dalam masa peralihan TK ke SD maka orangtua harus siap dengan beberapa hal.
"Orangtua cukup menyediakan buku bergambar dan meluangkan waktu untuk buah hatinya. Anak akan belajar mencintai buku dimulai  dengan cara yang sederhana," tulis Kompasianer Zahrotul mencontohkan. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H