Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Populer dalam Sepekan: Viral Tagar Indonesia Terserah hingga Pengalaman Dikarantina di Graha Lansia, Jambi

24 Mei 2020   07:46 Diperbarui: 24 Mei 2020   18:14 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas menggunakan smart helmet thermal untuk mendeteksi suhu tubuh saat rapid test covid-19 massal yang digelar Badan Intelijen Negara di Pasar Bogor, Senin (11/5/2020). Sebanyak 500 orang warga mengikuti rapid test ini guna mencegah penyebaran virus corona. (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Ketika munculnya tagar "Indonesia Terserah" di media sosial, sebelumnya kita tahu apa yang jadi latar belakang itu: adanya kerumunan saat penutupan McD Sarinah hingga adanya keramaian di terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta pada Jumat (15/5/2020) lalu.

Memang bukan hanya kedua peristiwa itu saja, tapi respon dari para petugas medis atas sikap masyarakat yang dinilai cenderung abai dengan penyebaran wabah virus corona.

Pada satu sisi masyarakat pasti sudah jengah ketika mesti berdiam diri di rumah saja. Akan tetapi, pada sisi lainnya petugas medis ini masih terus berkutat untuk menangani pandemi virus corona ini.

Jika masyarakat tidak disiplin, bukan tidak mungkin perjuangan para tenaga medis semakin panjang dan sia-sia. Maka keresahan itu diungkapkan dengan "Indonesia, Terserah!"

Selain itu masih ada juga konten menarik dan terpopuler lainnya, seperti refleksi 22 tahun pascareformasi hingga membandingkan penghasilan ghostwriter dengan menulis buku sendiri.

Inilah 5 konten menarik dan terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:

1. Indonesia Terserah dalam Perang Semesta Melawan Pandemi

Ada yang mesti kita ketahui dan sepakati bersama: bahwa wabah ini menjadi musuh bersama, yang harus segara dikalahkan.

Untuk menyiasati dalam jangka pendek, tulis Kompasianer Yudhi Hertanto, itu melakukan karantina dan isolasi mandiri bisa jadi solusi guna memperlambat penularan.

Jadi, berdiam diri di rumah itu bukan sekadar "cuma", melainkan kedisiplinan untuk menjaga kesehatan bersama.

"Perang kali ini seharusnya menempatkan publik sebagai elemen paling penting, untuk berdisiplin menjaga kesehatan bersama. Edukasi penting dalam membangun kesadaran," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Mengurai Lagu Rap "Terserah" yang Lagi Viral

Masih seputar keluh-kesah para perawat, saat ramai tagar "Indonesia Terserah", ada musisi rap yang turut serta menyampaikan kritik lewaat lagunya: Indonesia Terserah.

Atas karya yang dihasilkan oleh The Rap Up Indonesia, menurut Kompasianer Musfiq Fadhil itu unik. Pasalnya, mereka berhasil mengemas berita-berita serius yang bisa bikin kepala pusing ketika menyimaknya, bisa disampaikan dengan sebuah konten menghibur.

Terlebih, musik yang dihasilkan dari peralatan yang sederhana itu, ternyata bisa menghasilkan karya yang mantap seperti ini.

"Lagu ini membuatt saya menyukai musik rap. Bisa bikin saya yang sebelumnya hanya suka bergoyang koplo, jadi ngangguk-nganggukin santai ini kepala," lanjutnya. (Baca selengkapnya)

3. Dear Pak Wali Kota, Beginilah Kondisi Tempat Karantina yang Bapak Sediakan

Kompasianer Elvidayanty melaporkan tentang bagaimana yang ia alami selama menjalani karantina setelah terjaring pemeriksaan rapid test di beberapa pasar di Kota Jambi.

Pada awalnya Kompasianer Elvidayanty telah menutup warungnya untuk dialihfungsikan dengan membuka jasa belanja online.

Tidak hanya itu, ia sendiri juga sudah mengikuti protokol kesehatan sendiri seperti memakai masker, membawa hand sanitizer, hingga mencuci tangan setibanya di warung.

Singkat cerita, pada Selasa (12/05) dilakukan rapid test dan besoknya Walikota Jambi mengumumkan nama-nama orang yang hasil pemeriksaan rapid testnya reaktif.

Ternyata beberapa hari berselang nama Kompasianer Elvidayanty masuk dalam daftar tersebut dari sebelumnya tidak ada. Menurut petugas ada kesalahan dalam daftar orang-orang yang diumumkan.

"Hari Minggu (17/05) saya ke Graha Lansia, tempat yang ditunjuk untuk lokasi karantina. Hari itu juga semua pasien yang dikarantina di Graha Lansia diambil sampel swab," tulis Kompasianer Elvidayanty.

Dari ke-27 orang yang ada di tempat karantina, 9 pasien perempuan, dan 18 pasien laki-laki, hanya tersedia 1 kamar mandi, 2 toilet untuk perempuan, dan 2 toilet untuk laki-laki.

"Pemakaian kamar mandi bersama, bukannya malah jadi tempat penyebaran virus? Alih-alih sehat, yang ada, orang yang sebenarnya sehat, malah sakit beneran," lanjut Kompasianer Elvidayanty. (Baca selengkapnya)

4. Sudah 22 Tahun Reformasi, Kita Dapat Apa?

Jika demokrasi adalah jalan menuju kesejahteraan, tulis Kompasiner Julius Deliawan, maka rakyat memiliki ruang memadai untuk mengembangkan segala potensi yang mereka miliki.

Demokrasi merupakan jalan di mana setiap individu memiliki kesetaraan pada akses-akses ekonomi, tidak hanya pada akses politik.

Setelah 32 tahun berkuasa, Suharto benar-benar turun dari tampuk kekuasaannya. Pengunduran dirinya ketika itu menghasilkan histeria para penentangnya.

Untuk alasan itulah reformasi dilakukan: memberi ruang yang sangat luas bagi demokrasi.

"Tetapi bagaimana dengan hegemoni rezim yang terlanjur dihidupi oleh para pelaksana dari bentuk baru ketatanegaraan kita?" lanjutnya.

Setelah 22 tahun reformasi, menurut Kompasiner Julius Deliawan, reformasi hanya mengubah wajah, memoles muka, tanpa mengubah paradigma. (Baca selengkapnya)

5. Membandingkan Penghasilan Menjadi Ghostwriter dengan Menulis Buku Sendiri

Kompasianer Yana Haudy memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan menarik: berapa royalti yang kita dapatkan dari penerbit untuk buku yang kita tulis?

Sejauh pengamatannya, jika memakai sistem royalti maka penulis debutan biasanya dapat 5 persen dari harga buku. Akan tetapi tergantung, jika penulis menganggap naskahnya memang cukup bangus, ia akan melakukan negosiasi royalti hingga 10 persen.

Lantas bagaimana dengan profesi sebagai ghostwriter?

"Pada 2006 saya menulis untuk seorang veteran yang ingin menulis buku pengalaman beliau sebagai pejuang," tulis Kompasianer Yana Haudy menceritakan pengalamannya.

Soal penghasilan, lanjutnya, bayaran ghostwriter memang (sedikit) lebih besar daripada jika kita menulis buku sendiri lalu menunggu royalti.

Namun, ada semacam kode etik untuk ghostwriter. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun