Wacana pemindahan Ibu Kota kembali mengemuka ke publik setelah Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas pada Senin (29/04/2019) di Kantor Presiden.
Menanggapi Presiden, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengusulkan 3 alternatif untuk pemindahan Ibu Kota Jakarta.
Pertama, Ibu Kota tetap di Jakarta namun dibangun distrik khusus pemerintahan di Istana dan Monas. Kedua, Ibu Kota berada di kawasan Jabodetabek. Sedangkan alternatif ketiga, yaitu berada di luar Pulau Jawa yang akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun jika luas lahannya 40 ribu hektar.
Ditinjau dari segala aspek persyaratan calon ibu kota negara, tulis Kompasianer Himam Miladi, Palangkaraya hampir bisa memenuhi semuanya.
"Dengan luas wilayah 2.400 km dan berpenduduk sebanyak 376.647 jiwa (sensus 2015), atau tingkat kepadatan penduduk hanya 118,71/km2, masih banyak lahan kosong yang bisa dibangun dan diisi sebagai pusat pemerintahan," tulisnya.
Apakah pemindahan Ibu kota kali ini bisa terealisasi?
Selain wacana pemindahan Ibu Kota, pada pekan lalu Kompasiana juga diramaikan dengan perayaan Hari Buruh hingga pentingnya penggunaan e-Birokrasi guna merencanakan tata ruang kota.
Berikut adalah 5 artikel terpopuler di Kompasiana pekan lalu:
1. Palangkaraya Masih Menjadi Idola Calon Ibu Kota Negara yang Baru
Terkait wacana pemindahan Ibu Kota, Pemerintah sendiri belum mengumumkan daerah mana yang akan dijadikan ibu kota negara yang baru.
Meski begitu, menurut Kompasianer Himam Miladi, Kota Palangkaraya menjadi kandidat terkuat untuk menjadi ibu kota baru Indonesia.
Pemindahan Ibu Kota dari Kota Jakarta ke Kota Palangkaraya bukan tanpa alasan, karena pulau Kalimantan, terutama Kota Palangkaraya juga tidak termasuk lokasi yang rawan bencana.
"Pulau Kalimantan tidak ikut dikelilingi 'Ring of Fire', sehingga potensi terjadinya bencana alam lebih kecil dibandingkan pulau-pulau besar lain seperti halnya pulau Sumatera, Jawa atau Sulawesi dan Papua," tulis Kompasianer Himam Miladi.
Palangkaraya juga termasuk kota yang sudah jadi. Itu artinya daerah ini sudah lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang seperti transportasi hingga pusat-pusat bisnis. (Baca selengkapnya)
2. Pindahkan Pusat Pemerintahan, Bukan Ibu Kota Negara
Ketika wacana pemindahan Ibu Kota (kembali) mencuat pada akhirnya menimbukan pro-kontra, Kompasianer Syaiful Harahap misalnya melihat wacana tersebut justru lebih baik cukup memindahkan pusat pemerintahan bukan Ibu Kota.
Menurutnya, dengan memindahkan Ibu Kota kelak akan diikuti dengan pemindahan penduduk dari satu tempat yang lama ke tempat yang baru.
"Sehingga kondisinya kelak sama saja dengan Jakarta: kumuh," tulisnya.
Daripada menghabiskan dana yang sangat besar hanya untuk memindahkan Ibu Kota yang kelak juga akan mengalami masalah baru, mengapa tidak dilakukan penyebarannya, seperti memindahkan kementerian ke pulau yang terkait. (Baca selengkapnya)
3. E-Birokrasi Tata Ruang serta Koordinasi Lintas Daerah
Perdebatan ilmiah tentang banjir sebagai fenomena alam sekaligus kesalahan dalam penataan ruang kian menarik, setidaknya untuk Kompasianer Riko Noviantoro.
Pasalnya setiap banjir melanda ibu kota, kritik dengan cepat ditujukan kepada pegawai tingkat kecamatan sampai Gubernur dimimnta langsung bersikap.
Kompasianer Riko Noviantoro melihatnya sebagai regulasi yang tumpang-tindih dan terlalu banyak dapat selesai melalui sinkronisasi peraturan.
"Tranparansi dan partisipatif dalam penataan ruang menjadi bagian dari keterlibatan masyarakat. Maka sepatutnya birokrasi mampu memaknainya dalam praktik penataan ruang," tulisya.
Sebagai contoh, Kompasianer Riko Noviantoro menjelaskan, E-birokrasi pada perizinan tata ruang bukan saja mencegah pelanggaran perizinan, tetapi mampu pula menumbuhkan partisipasi masyarakat. (Baca selengkapnya)
4. 'May Day is Not Holiday'
Peringatan hari buruh dan Hari pendidikan nasional yang berdekatan bukan tanpa arti. Sebab, kedua peringatan ini justru mengandung banyak permasalahan yang seharusnya dicarikan solusinya oleh Pemerintah dan semua yang berperan di dalamnya.
Kompasianer Siahaan Junior melihatnya sebagai momentum untuk emperjuangkan hak, bukan sebagai hari untuk liburan.
"Jika Buruh sejahtera, sekolah yang hari demi hari bertambah mahal pun dapat diduduki oleh anak-anak pekerja yang disebut sebagai Buruh," tulisnya. (Baca selengkapnya)
5. Ketimpangan Capaian Pembangunan Manusia dan Solusinya
Mengutip rilis yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2018, secara rata-rata orang Indonesia memiliki kapabilitas dasar (tingkat kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan) yang lebih baik daripada sebelumnya.
BPS melaporkan bahwa secara nasional IPM mencapai level baru, yakni 71,39 pada 2018, atau mengalami peningkatan secara substansial sebesar 0,58 poin dari tahun sebelumnya (70,81).
Melihat data itu Kompasianer Kadir Ruslan menjelaskan, untuk mengukur keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut secara tepat, UNDP menggunakan IPM.
"Ini merupakan sebuah indeks komposit yang dirancang untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia melalui tiga dimensi, yaitu kehidupan yang panjang dan sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak," tulisnya.
Akan tetapi ini patut disayangkan karena di tengah kemajuan mengesankan yang telah diperoleh dari komitmen kuat terhadap pembangunan manusia, banyak orang Indonesia masih tertinggal dalam hal kapabilitas dasar yang diukur melalui ketiga dimensi IPM.
"Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan yang nyata atau disparitas dalam pencapaian pembangunan manusia yang terjadi antar individu, gender, dan wilayah," lanjutnya. (Baca selegkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H