Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Sampai Mana Batas Sensualitas dalam Karya Sastra?

28 November 2018   21:20 Diperbarui: 20 Desember 2018   16:29 1780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang tergambar dari larik itu? Sensualitas. Dari semula "menyusu di payudara ibu" sampai "kamu tetap menyusu di payudaraku". Akan tetapi sebelum itu Amel Widya sudah menegaskan: kita tidak melihat ada cinta selain di pelukan kita.

Pertanyaannya, nilai apa yang ingin Amel Widya tawarkan dalam puisinya tersebut? Sekadar main-main dengan batas imajinasi belaka, kah?

Begitu juga dengan puisi yang dibuat Ropingi, Keringat Malam. Berbeda dengan puisi yang ditulis Amel Widya, puisi 'Keringat Malam' ditulis dengan pola bait-bait berima. Tapi, justru dengan bentuk seperti itulah erotisme dalam puisi Ropingi terasa kental. Simak bait pembuka puisinya:

Keringat malam masih tersisa, dan benang putih pagi masih jauh dari bentuknya. Kala anak manusia nikmat diperaduan.

Frasa "keringat malam" dan "nikmat diperaduan" sudah tentu menggambarkan suatu aktivitas tertentu. Namun, jika dibaca secara keseluruhan, puisi tersebut sekadar menyajikan hiburan lain. Bukan untuk mengundang nafsu semata, tetepi kenikmatan bermain dengan kata-kata dan membawa kita dalam suatu konsep erotisme itu sendiri.

Akan kami kutip seraca utuh 2 bait dari puisi 'Keringat Malam':

Desah, rintih, aum, omel canda, bahkan tangis tak membuat iba
Silih berganti menapaki asa
Memanjat air terjun dan berlomba-lomba
Berharap jatuh bersama-sama
Lalu, tersungkur lunglai terlepas seluruh daya
Juga pasti tau semua
Nikmat ini singkat sekejap rasa

Begitulah pameran patung bernyawa
Berulang tak tentu kapan akhirnya
Nikmat mana yang masih tersisa, ketika peluh semua luruh

Dari yang tergambar dalam kedua bait tersebut yaitu Ropingi menawarkan sebuah gagasan atas realitas sebuah hubungan: bahwa dalam sebuah hubungan, tanpa dilandasi cinta, tak ayal patung bernyawa. Tanpa rasa dan bisa hilang begitu saja.

***

Sebagaimana sebuah karya ketika dilahirkan: seluruhnya menjadi milik pembaca/konsumen untuk menafsirkan dan/atau meinterpretasikannya. Bisa baik, bisa buruk; bisa jauh dari apa yang semula dibayangkan oleh pembuatnya, bisa sesuai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun