Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Sampai Mana Batas Sensualitas dalam Karya Sastra?

28 November 2018   21:20 Diperbarui: 20 Desember 2018   16:29 1780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya Kode Etik Jurnalistik, dalam hal inipun Kompasiana secara jelas menuliskan aturan terkait postingan vulgar seperti tertera pada "Kententuan Konten" nomor 12 poin "e": melanggar norma kesusilaan, mengandung unsur cabul dan pornografi.

Jika dirasa sebuah tulisan terkadung satu di antara ketiga hal tersebut sudah pasti tulisan tersebut dihapus. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan karya fiksi? Mari kita diskusikan.

Dalam tentu kita tidak bisa membatasi mengenai sesuatu hal yang masih berhubungan dengan seksualitas. Walau, tanpa perlu kita tutupi, sebagian orang masih menganggapnya sebagai hal yang tabu.

Hal-hal yang berhubungan dengan erotisme, khususnya karya sastra, tidaklah sekedar memuaskan sebuah nafsu melainkan sebuah nilai tersendiri sebagai suatu hiburan yang menarik dalam menambah wawasan, serta memberikan sebuah pemahaman tentang konsep erotisme dalam melihat dan menelaah konsep erotisme.

Dan bukan hanya dari segi konsep vulgar, erotisme dalam karya sastra semestinya itu hanyalah sebuah gambaran dari apa yang diceritakan melalui kata-kata yang erotis. Tidak lebih dari itu.

Mengutip esai yang dibuat Damhuri Muhammad "Sastra, Tubuh, Vulgar, dan Tabu", rendahnya standar estetik yang digunakan sehingga yang menonjol bukan nilai estetik, tetapi nilai provokasi (erotisme, sensualitas, dan seksualitas). Barangkali hal seperti itulah yang membuat kabur antara erotisme sebagai karya tulis sebagai ruang untuk mendidik dengan sekadar bacaan yang tidak mendidik.

***

Sebanyak 5 kali Amel Widya menulis kalimat "Dulu aku menyusu di payudara ibumu." dalam puisinya yang berjudul Narasi Luka Hati secara eksplisit.

Namun, sebagaimana kita tahu, itu hanyalah metafora untuk menggambarkan bagaimana kedekatan "si aku" dan "si kamu" hidup dalam puisi tersebut. Amel Widya juga tidak menggambarkan bagaimana proses menyusu. Tapi, seperti yang juga kita sama-sama tahu, proses menyusui itu seperti apa.

Dalam puisi 'Narasi Luka Hati' ditulis laiknya prosa liris: dengan bahasa berirama, kalimatnya panjang-panjang tampak seakan-akan bertumpuk-tumpuk. Pada bentuk seperti itu, semestinya Amel Widya bisa menggambarkan lebih jauh kedekatan hubungannya. Tapi, tidak ia lalukan.

Namun, yang justru menarik, Amel Widya mengajak kita jauh berkhayal hingga batas terluar imajinasi ketika ia menuliskan "Pohon cinta di dada kita tumbuh rimbun dan rindang. Kamu tetap menyusu di payudaraku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun