Naratif sekali laporan yang dibuat oleh Majalah Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Balairung, ketika membuat laporan kronoligis perkosaan yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya) berjudul "Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan".
Namun, sayang sekali, laporan tersebut dianggap mengaburkan hal yang penting: dianggap terlalu vulgar, karena menulis secara rinci adegan ketika Agni diperkosa oleh temanmya sendiri sewaktu melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Perdebatan yang kemudian muncul justru seputar betapa tidak etisnya menuliskan hal-hal yang vulgar, bukan berfokus pada penanganan atau sikap tegas terhadapa kasus perkosaan dan korbannya.
Seperti yang tertera pada kolom komentar tulisan tersebut, ada yang menulis, " itu tolong ceritanya jangan sedetil itu, kesannya seperti cerita panas."
Karena satu komentar itulah akhirnya orang ramai-ramai kemudian menimpali. Satu di antaranya, "diksi yang vulgar? Diksi yang dipakai memang kata2 yang seharusnya dipakai kok. Mungkin anda saja yang terlalu berlebihan memaknai diksi tersebut, anda masih terkungkung dalam ketabuan sehingga menganggap diksi tersebut vulgar. Coba banyak baca lagi ya, mas, supaya kaya akan bahasa dan wawasannya luas."
Jika hal tersebut selalu diperdebatkan dan mendapat perhatian lebih, bagaimana kita bisa lebih tegas terhadap kasus-kasus perkosaan yang terjadi? Bagaimana nasib korban-korban perkosaan yang kerap disalahkan?
Menanggapi hal tersebut, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) region Surabaya juga ikut angkat bicara. Dalam rilis yang AJI Surabaya keluarkan melalui akun Twitter @aji_surabaya mengatakan, dengan menarasikan bagaimana pemerkosaan itu terjadi (kronologi), relasi kuasa pelaku terhadap penyintas, apa yang dialami penyintas pasca peristiwa, sampai respon institusi berwenang terhadap kasus ini, cukup menggambarkan apa yang dialami penyintas.
"Narasi penulis Balairung sangat kuat. Ketika semua hal itu dinarasikan dengan kuat, cara pelaku memperkosa korban harusnya dihindari disajikan di publik," lanjut Miftah Faridl, Ketua AJI Surabaya dalam rilis tersebut.
Jawaban kami untuk tulisan @bppmbalairung. Semoga terjelaskan. Nuwun sanget pic.twitter.com/Le9I1m2eSb--- AJI SURABAYA (@aji_surabaya) November 8, 2018
Namun, seperti yang ditulis dalam rilis tersebut, ia gembira atas apa yang telah dilakukan Balairung. Sebab, (lewat laporan itu) Balairung berhasil membuka pandora sehingga isu ini menjadi diskursus di ruang publik.
Rilis yang dikeluarkan AJI Surabaya memang mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Kata "cabul" dalam pasal tersebut merujuk pada tafsir menggambarkan tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar suara, grafis atau tulisan semata-mata untuk membangkitkan birahi.
Seperti halnya Kode Etik Jurnalistik, dalam hal inipun Kompasiana secara jelas menuliskan aturan terkait postingan vulgar seperti tertera pada "Kententuan Konten" nomor 12 poin "e": melanggar norma kesusilaan, mengandung unsur cabul dan pornografi.
Jika dirasa sebuah tulisan terkadung satu di antara ketiga hal tersebut sudah pasti tulisan tersebut dihapus. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan karya fiksi? Mari kita diskusikan.
Dalam tentu kita tidak bisa membatasi mengenai sesuatu hal yang masih berhubungan dengan seksualitas. Walau, tanpa perlu kita tutupi, sebagian orang masih menganggapnya sebagai hal yang tabu.
Hal-hal yang berhubungan dengan erotisme, khususnya karya sastra, tidaklah sekedar memuaskan sebuah nafsu melainkan sebuah nilai tersendiri sebagai suatu hiburan yang menarik dalam menambah wawasan, serta memberikan sebuah pemahaman tentang konsep erotisme dalam melihat dan menelaah konsep erotisme.
Dan bukan hanya dari segi konsep vulgar, erotisme dalam karya sastra semestinya itu hanyalah sebuah gambaran dari apa yang diceritakan melalui kata-kata yang erotis. Tidak lebih dari itu.
Mengutip esai yang dibuat Damhuri Muhammad "Sastra, Tubuh, Vulgar, dan Tabu", rendahnya standar estetik yang digunakan sehingga yang menonjol bukan nilai estetik, tetapi nilai provokasi (erotisme, sensualitas, dan seksualitas). Barangkali hal seperti itulah yang membuat kabur antara erotisme sebagai karya tulis sebagai ruang untuk mendidik dengan sekadar bacaan yang tidak mendidik.
***
Sebanyak 5 kali Amel Widya menulis kalimat "Dulu aku menyusu di payudara ibumu." dalam puisinya yang berjudul Narasi Luka Hati secara eksplisit.
Namun, sebagaimana kita tahu, itu hanyalah metafora untuk menggambarkan bagaimana kedekatan "si aku" dan "si kamu" hidup dalam puisi tersebut. Amel Widya juga tidak menggambarkan bagaimana proses menyusu. Tapi, seperti yang juga kita sama-sama tahu, proses menyusui itu seperti apa.
Dalam puisi 'Narasi Luka Hati' ditulis laiknya prosa liris: dengan bahasa berirama, kalimatnya panjang-panjang tampak seakan-akan bertumpuk-tumpuk. Pada bentuk seperti itu, semestinya Amel Widya bisa menggambarkan lebih jauh kedekatan hubungannya. Tapi, tidak ia lalukan.
Namun, yang justru menarik, Amel Widya mengajak kita jauh berkhayal hingga batas terluar imajinasi ketika ia menuliskan "Pohon cinta di dada kita tumbuh rimbun dan rindang. Kamu tetap menyusu di payudaraku."
Apa yang tergambar dari larik itu? Sensualitas. Dari semula "menyusu di payudara ibu" sampai "kamu tetap menyusu di payudaraku". Akan tetapi sebelum itu Amel Widya sudah menegaskan: kita tidak melihat ada cinta selain di pelukan kita.
Pertanyaannya, nilai apa yang ingin Amel Widya tawarkan dalam puisinya tersebut? Sekadar main-main dengan batas imajinasi belaka, kah?
Begitu juga dengan puisi yang dibuat Ropingi, Keringat Malam. Berbeda dengan puisi yang ditulis Amel Widya, puisi 'Keringat Malam' ditulis dengan pola bait-bait berima. Tapi, justru dengan bentuk seperti itulah erotisme dalam puisi Ropingi terasa kental. Simak bait pembuka puisinya:
Keringat malam masih tersisa, dan benang putih pagi masih jauh dari bentuknya. Kala anak manusia nikmat diperaduan.
Frasa "keringat malam" dan "nikmat diperaduan" sudah tentu menggambarkan suatu aktivitas tertentu. Namun, jika dibaca secara keseluruhan, puisi tersebut sekadar menyajikan hiburan lain. Bukan untuk mengundang nafsu semata, tetepi kenikmatan bermain dengan kata-kata dan membawa kita dalam suatu konsep erotisme itu sendiri.
Akan kami kutip seraca utuh 2 bait dari puisi 'Keringat Malam':
Desah, rintih, aum, omel canda, bahkan tangis tak membuat iba
Silih berganti menapaki asa
Memanjat air terjun dan berlomba-lomba
Berharap jatuh bersama-sama
Lalu, tersungkur lunglai terlepas seluruh daya
Juga pasti tau semua
Nikmat ini singkat sekejap rasa
Begitulah pameran patung bernyawa
Berulang tak tentu kapan akhirnya
Nikmat mana yang masih tersisa, ketika peluh semua luruh
Dari yang tergambar dalam kedua bait tersebut yaitu Ropingi menawarkan sebuah gagasan atas realitas sebuah hubungan: bahwa dalam sebuah hubungan, tanpa dilandasi cinta, tak ayal patung bernyawa. Tanpa rasa dan bisa hilang begitu saja.
***
Sebagaimana sebuah karya ketika dilahirkan: seluruhnya menjadi milik pembaca/konsumen untuk menafsirkan dan/atau meinterpretasikannya. Bisa baik, bisa buruk; bisa jauh dari apa yang semula dibayangkan oleh pembuatnya, bisa sesuai.
Namun, pada akhirnya, batas itu ada pada diri masing-masing. Sebagai pembuat karya batas itu kadang tidak terbayangkan sebelumnya. Apakah karya yang dibuat terasa vulgar atau tidak.
Hanya saja, jika memang karya tersebut melanggar pembuat karya menjadi paham: ada batas baru yang bisa dan tidak untuk dilewati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H