Hal-hal yang (tampak) indah itu, sayangnya, hanya ada di mimpi. Dan pada mimpi itulah Novi memberikan kekuasaan pada tokoh cerita untuk bisa berdialog dengan Tuhan.
Ini yang mungkin ingin Novi jawab sendiri dari pertanyaan itu:
Aku berdoa agar aku tetap mempunyai perasaan seperti ini, meski aku harus beraktifitas dan berhubungan dengan kesibukan dunia dan manusia. Namun perasaan bahagia bersama Allah begini jangan sampai dihilangkan. Selalu berkomunikasi dengan Allah begini membuat percaya diri yang besar, karena merasa ditemani dimanapun berada.
***
Tubuh-tubuh tegap melangkah mantap
Berlalu tanpa hati
Melewati tanpa nurani
Biasa saja, entah itu hal biasa
Atau mungkin nyawa tak lagi yang utama
Penggalan bait itu diambil dari puisi Tangan yang Berkelindan untuk Kemunafikanyang ditulis oleh Efa Butarbutar. Puisi tersebut menceritakan bagaimana manusia yang, kadangkali, acuh dalam melihat fenomena (yang mungkin bukan lagi fenomena) sosial: tunawisma.
Dari puisinya, Efa ingin mengingatkan:
Tentang kebohongan dari mereka yang muncul di pekatnya malam
Mengabaikan daging letih terbungkus lembaran mahal.Â
Diam. Tegas Efa kemudian. Kata itu menegaskan dan (sekaligus) memantapkan.
Pendekatan akan pembelajaran agama, barangkali, bisa lebih masif dengan seperti ini: cerita-cerita yang mampu menggairahkan pembacanya. Fiksi, pada umumnya, mungkin bisa menghidupkan kekosongan itu.
Namun, tidak perlu berharap banyak jua. Anggap saja laiknya pesan Danarto dalam cerpennya Godlob: