Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menghidupkan (Kembali) Khazanah Fiksi Islami

13 Juni 2018   15:35 Diperbarui: 14 Juni 2018   18:07 2103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca karya sastra tentu saja tidak melulu tentang keluwesan bercerita atau bertutur. Selain daripada itu, membaca karya sastra bisa menggugah seseorang untuk mengarah pada kebaikan dan kebajikan.

Tidak ada istilah "gagal" memang dalam karya sastra. Barangkali karya yang dihasilkan belum cukup baik untuk menemui pembacanya. Dan karya yang baik, seperti yang tadi, mampu mengajak pembacanya, meski sebatas teman berpikir.

Pada 1993, cerpen Mas Gagah Pergi yang dibuat Helvi Tiana Rosa, konon berhasil membangkitkan semangat belajar keIslaman di kalangan remaja.

Mas Gagah Pergi pertama kali dimuat di majalah Annida, majalah khusus remaja yang berfokus pada kegiatan-kegiatan anak muda dengan Islam. Barulah setelahnya bermunculan naskah-naskah bernafas serupa yang menghiasi kesusastraan Indonesia.

Beberapa tahun belakangan, jika diperhatikan, karya-karya seperti Mas Gagah Pergi semakin jarang kita temui. Kehadirannya riuh-reda mengejar zaman. Dan, mungkin pada momen-momen tertentu saja karya yang Islami itu lahir. Semisal, saat ramadhan ini. Karya-karya fiksi Islami mengalir begitu deras. Dari satu peristiwa ke peristiwa lain.

Karya-karya Islami memang sering terkungkung akan alur yang mengarah untuk menceramahi atau menggurui. Bentuknya bisa beragam: nada, kosakata sampai pemikiran tokoh-tokoh dalam cerita. Karya-karya tersebut seakan meninggalkan jauh patron pentingnya: alur, tema hingga karakter antartokoh. Yang lebih parah malah sebatas karya picisan bernafas reliji.

***

"Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan,"

Itu merupakan petikan kalimat dari novel Maryam yang ditulis Okky Madasari. Ucapan seorang Ibu (Maryam) kepada anak perempuannya (Mandalika). Berkisah tentang generasi ketiga pengikut Ahmadiyah di Lombok. Sebab agama, bagi pengikutnya, menjadi kepedihan atas tindak represif yang diterima. Konflik lebih sering terjadi daripada percakapan yang hangat sesama antar manusia.

Petikan kalimat Maryam itu bisa menyasar apa saja dan siapa saja. Bagi yang mengidamkan kedamaian, bagi yang selalu menajamkan prasangka, bahkan bagi yang tidak tahu apa-apa sekalipun.

Meski dilatari konflik horizon agama, tapi novel Maryam bukanlah tentang religiusitas belaka. Ada sejarah atau dongeng yang hadir dalam novel tersebut. Meski, bisa saja ini keliru, ada harapan yang ingin Okky Madasari capai ketika orang-orang selesai membacanya: mengurangi doktrin-doktrin yang membuat orang terdekat menjadi terikat, lalu bermusuhan.

***

Bagaimana rasanya mengikuti THR Kompasiana? Menulis tanpa jeda dengan tema yang berbeda setiap harinya. Jika boleh sedikit menduga, dalam sebulan ini seperti ada libur satu hari bukan? Yha. Ketika temanya tentang "Fiksi Ramadhan".

Jika membaca keseluruhan naskah yang masuk hari itu (30/5) ada kesamaan yang kentara: kehidupan sosial masyarakat menjalani ramadhan.

Bahkan jika ditarik lebih jauh hampir keseluruhan membahas akan hari-hari selama ramadhan. Menariknya: kita jadi tahu bahwa cara beribadat masyarat Indonesia itu seru; cenderung mengajak bergembira.

Satu di antara adalah cerpen yang ditulis Fifin Nurdiyana, Kurma. Berkisah tentang ketangguhan anak perempuan bernama Aminah yang bekerja keras demi untuk menopang kebutuhan hidup keluarganya.

Cerita bermula ketika Aminah memberikan dompet yang terjatuh saat ia mengantar kue-kue ke warung titipan tetangganya. Dari hasil penjualan kue itu Aminah diberi upah.

Namun nasib berkata lain hari itu: kebaikan mengantarkannya pada keberkahan. Sekotak kurma untuk ibunya pada akhirnya bisa ia dapat dengan cuma-cuma. Berkah ramadhan selalu datang kapanpun, di manapun dan kisah apapun.

Meski tidak ada kebaruan dalam bentuk estetik, namun cerita itu bisa melatardepani realisme atau potret sosial masyarakat kita. Dalam cerita itu juga diberitahu detil dari satu babak ke babak lainnya yang memungkinkan orang ikuti. Bahkan runut.

Atau jika membaca karya-karya (alm) Danarto. Ia mengambil jalan-jalan sufisme, yaitu pengembaraan batin. Secara khusus, ia menuliskannya dalam kumpulan cerpeb Godlob, debutnya dalam kepenulisan sastra. Sejak itu, baik naskah drama, catatan perjalanan, novel hingga esai selalu seputar pergulatan batin.

Dalam cerpen Mimpi saat Ramadhan yang ditulis Novi Septiana pun menceritakan pergulatan dan pengembaraan batin yang menarik.

Aku juga melihat bunga-bunga warna-warni, padang rumput hijau luas sekali dengan air mancur, hatiku lebih bahagia lagi. Lalu ada sajadah yang terhampar di padang rumput itu.

Hal-hal yang (tampak) indah itu, sayangnya, hanya ada di mimpi. Dan pada mimpi itulah Novi memberikan kekuasaan pada tokoh cerita untuk bisa berdialog dengan Tuhan.

Ini yang mungkin ingin Novi jawab sendiri dari pertanyaan itu:

Aku berdoa agar aku tetap mempunyai perasaan seperti ini, meski aku harus beraktifitas dan berhubungan dengan kesibukan dunia dan manusia. Namun perasaan bahagia bersama Allah begini jangan sampai dihilangkan. Selalu berkomunikasi dengan Allah begini membuat percaya diri yang besar, karena merasa ditemani dimanapun berada.

***

Tubuh-tubuh tegap melangkah mantap
Berlalu tanpa hati
Melewati tanpa nurani
Biasa saja, entah itu hal biasa
Atau mungkin nyawa tak lagi yang utama

Penggalan bait itu diambil dari puisi Tangan yang Berkelindan untuk Kemunafikanyang ditulis oleh Efa Butarbutar. Puisi tersebut menceritakan bagaimana manusia yang, kadangkali, acuh dalam melihat fenomena (yang mungkin bukan lagi fenomena) sosial: tunawisma.

Dari puisinya, Efa ingin mengingatkan:

Tentang kebohongan dari mereka yang muncul di pekatnya malam
Mengabaikan daging letih terbungkus lembaran mahal. 

Diam. Tegas Efa kemudian. Kata itu menegaskan dan (sekaligus) memantapkan.

Pendekatan akan pembelajaran agama, barangkali, bisa lebih masif dengan seperti ini: cerita-cerita yang mampu menggairahkan pembacanya. Fiksi, pada umumnya, mungkin bisa menghidupkan kekosongan itu.

Namun, tidak perlu berharap banyak jua. Anggap saja laiknya pesan Danarto dalam cerpennya Godlob:

"Kalau ada seorang jang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu, hingga orang jang punja luka itu akan berteriak kesakitan dari lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penjair, luka itu akan di elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanja telah tiada. Sehingga tidak seorangpun dari kedia matjam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka itu. Bagaimana pendapatmu, Anakku?"

(HAY)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun