Sejak 1920 permainan Yo-yo kali pertama diperkenalkan. Sebenarnya istilah Yo-yo untuk merujuk gaya putarannya yang memungkinkan kembali dengan sendirinya. Permaianan itu mahfum disebut dengan nama "Yo Yoing".
Namun, jauh sebelum itu, sekira 500 tahun sebelum masehi, Yo-yo ditemukan dalam sebuah lukisan. Lukisan itu menggambarkan seorang anak kecil tengah bermain Yo-yo dari tanah liat dengan tali di ujung jarinya. Lambat laun permaian semakin berkembang hingga ke tanah Filipina bagian Utara. Dalam bahasa Tagalog, Yo-yo berarti "datang-datang" atau "kembali".
Seperti senjata, Yo-yo digunakan orang-orang Filipina sebagai alat pelindung diri. Sebagaimana senjata Boomerang dari Australia.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, Yo-yo terdiri atas as roda yang dihubungkan dengan kedua piringan. Dengan bentuk seperti itu, Yo-yo secara otomatis akan kembali saat dilemparkan ke bawah. Sleeper trick biasanya orang-orang menyebut. Ketika piringan itu dilempatkan ke bawah, tidak langsung kemudian ditarik, melainkan dibiarkan berputar terlebih dulu di bawah.
***
Dengan sistem setengah kompetisi, kejuaraan akbar sepakbola, Piala Dunia kerap menyajikan hal-hal yang tidak diduga. Semisal: tim unggulan yang dengan gagah mampu melawan tim-tim lain pada fase grup, malah dengan mudah dikalahkan di fase 16 atau 8 (delapan) besar.
Tim-tim seperti itu, yang lolos ke babak selanjutnya namun mesti langsung gugur, sama halnya dengan bermain Yo-yo. Tim Yo-yo, jika diperkenankan memberi sebuah istilah.
Kepastian dalam sepakbola adalah ketidakniscayaan. Satu-satunya yang pasti dalam sepakbola, tentu saja, adalah keputasan wasit. Ia sulit ditangguhkan. Oleh sebab itu menjadi menarik bila kita membahas Tim Yo-yo ini dalam gelaran Piala Dunia 2018.
***
1. InggrisÂ
Yang kemudian menjadi kambing hitam adalah liga domestik. Liga yang konon terbaik itu sampai sekarang belum bisa menghasilkan satu gelar Piala Dunia sekalipun. Sepakbola di tanah Inggris tak ayal program televisi: yang hanya dinikmati, lalu selesai.
Tidak mudah memang mengelola timnas Inggris. Sebab pada liga domestik pemain-pemain timbul-tenggelam. Fisik pemain berbanding lurus dengan inkonsistensi.
Lihat saja bagaimana pemain yang dibawa Southgate, mereka adalah penggawa utama tim-tim besar Liga Inggris. Namun, dari semua pemain yang dibawa, nampaknya beban paling berat ada pada diri Harry Kane.
Setelah bersusah payah berhasil merusak perayaan Saint Totteringham's Day dengan membawa Spurs kembali finis di atas Arsenal--sekaligus masuk Liga Champions-- Harry Kane adalah satu-satunya penyerang murni. Itupun akan bergantian dengan (Jamie) Vardy.
Berada pada Grup G bersama Belgia, Panama dan Tunisia, nampaknya ini akan menjadi grup yang lumayan ditunggu setiap pertandingannya.
2. BelgiaÂ
Yang juga menarik adalah 80 persen pemain yang dipanggil bermain di Liga Inggris. Bahkan ada sebuah guyon "Liga Inggris mengirim dua wakil di Piala Dunia." Betapa meyakinkan, bukan?
Courtois, Alderweireld, Vertonghen, De Bruyne, Dembele, Fellani, Hazard hingga Lukaku, adalah pemain-pemain kunci pada setiap tim yang dibela. Selebihnya, bisa dijadikan pemain untuk merotasi bila tim sedang tertinggal atau unggul.
Belgia dan Inggris dimungkinkan bisa lolos fase grup, namun yang kemudian jadi penghalang adalah lawan mereka setelah itu: tim-tim dari Grup H (Polandia, Senegal, Kolombia dan Jepang).
Satu-satu yang menggangu Belgia, paling tidak, adalah agen-agen tim yang mencari pemain pascaPiala Dunia. Nama-nama besar itu, besar kemungkinan selalu menjadi incaran. Dan itu mengganggu secara mental ketika tengah bertanding.
3. PortugalÂ
Juara Piala Eropa 2016 ini bisa jadi tim yang selalu diunggulkan setiap kejuaraan. Semakin diharapkan, semakin berat juga beban (Cristiano) Ronaldo. Sebab biar bagaimanapun Portugal bukan hanya Ronaldo dan Ronaldo satu-satunya yang diandalkan.
Mungkin komposisi pemain Piala Eropa cukup untuk membawa Portugal tidak begitu memalukan seperti Piala Dunia sebelumnya. Sudah ada perpaduan antara pemain muda di skuad utama. Joao Mario, Andre Silva, Cancelo dan Ruben Dias bisa menambal sisi-sisi di mana itu diisi oleh pemain berbanding yang jauh lebih senior.
Sebab ini bukan lagi motivasi, namun mesti lebih impresif daripada babak kualifasi --wakil khusus saat Piala Eropa. Sebabnya jelas, karena ini bisa saja gelaran Piala Dunia terakhir bagi Ronaldo.
Lagi pula, Piala Dunia bukanlah tempat yang bersahabat bagi Portugal. Raihan prestisius yang dapat meraka hasilnya hanya peringkat tiga, itupun sudah 50 tahun lalu.
4. JepangÂ
Meski berada dalam Grup H bersama Kolombia, Senegal, dan Polandia membuat peluang Jepang untuk (sekadar) lolos amat terbuka. Dengan pemain seperti Kagawa, Honda, Nagatomo dan Okazaki menjadi modal penting.
Walau mendapat hasil buruk di beberapa pertandingan uji coba, rasa pesimitis itu selalu dibangun oleh pelatihnya, Akira Nashino. Kepercayaan itu muncul karena ia percaya pemain-pemain yang dipanggil telah menunjukan performa baik selama di J-League (Liga domestik Jepang). Liga tersebut dalam beberapa tahun belakangan terus mendominasi kawasan Asia.
Inilah yang membuat Jepang, setiap pertandingan, seakan menonton tim kelas Eropa --level medium.
5. MarokoÂ
Keberhasilan mengelola tim dan kekompakan bermain menjadi kunci sukses itu. Herve Renard telah mampu mengembalikan marwah Maroko sebagai tim yang patut diperhitungkan dari Zona Afrika.
Bagaimana tidak, Piala Dunia 2018 menjadi kali pertama timnas Maroko sejak 20 tahun silam. Herve Renard pun berhak mengklaim pelatih pertama yang memenangkan Piala Afrika dengan negara yang berbeda.
Selain itu, catatan tidak kebobolan sama sekali tadi, adalah sumbangsih besar Medhi Benatia. Bermain di skuat utama Juventus musim 2017-18, membuktikan bahwa ia adalah bek tengah yang tangguh.
Visi bermainnya sangat jelas di lapangan. Ia kuat, atletis dan bagus dalam penguasaan bola. Saat ini bisa dibilang Mehdi Benatia merupakan bek terbaik di Afrika.
Namun, apakah itu cukup untuk membuat Maroko bertahan dan dapat melaju dengan mulus di Piala Dunia? Mungkin bisa lolos ke babak 16 besar, selanjutnya, pemain lain mesti berjuang lebih kuat lagi daripada biasanya.
***
Setidaknya ada beberapa cara dan teknik bermain Yo-yo. Dan yang paling unik adalah Walk The Dog. Cara memainkannya seperti sedang menuntun anjing jalan-jalan di taman.
Namun teknik Walk The Dog tidaklah mudah, sebab Yo-yo tersebut mesti tetap berputar di bawah dalam waktu yang lama. Jika belum mahir, Yo-yo malah kembali langsung ke tangan. Ini yang juga diharapkan dari tim-tim Yo-yo dalam Piala Dunia 2018 ini: cobalah sedikit lama berputar dan tidak cepat-cepat pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H