Kata-kata sepertinya perlu ruang dan waktu untuk menghentikan setiap perasaan yang ada, tapi Wulan memilih diam. Untuk apa setiap kenangan harus ditata ulang, jika tak satu pun ingatan turut serta meriuhkan rasa?Â
Sore masih membias kemerahan, ketika didapatinya perempuan itu tengah menyiram kebun bunga di halamannya. Bunga-bunga yang ditanam banyak bermekaran pada musim seperti ini, saat hujan lambat laun berganti kemarau.Â
Lama dipandangnya perempuan dengan tubuh mungil yang senantiasa dan selalu ingin direngkuhnya. Dipandangnya lekat-lekat. Perempuan itu bersenandung bersama percikan air. Sungguh, perempuan itu tak  menyadari sepasang mata elang tengah leluasa menikmati aktivitasnya.
"Soreee,Wulan..."Â
Wulan terlihat kaget saat menyadari lelaki itu sangat tiba-tiba berada di depannya. Kadang inginkan suasana seperti ini, tetapi lebih sering dia memilih tak ingin bertemu dalam situasi apapun.
"Sore juga, Damar," datar sekali balasannya.
"Silakan duduk, tapi maaf, Aku ga bisa menemani. Tanggung nih," begitu saja kalimat itu meluncur tanpa bersitatap.
Damar tersenyum. Dia sugguh menyadari kehadirannya masih belum diterima oleh Wulan. Tapi dia  juga tidak  dapat memaksakan kehendak, jika mengingat-ingat kesalahan yang dilakukannya sendiri. Karena hal itulah dan rasa rindu yang mencekam membuatnya memberanikan diri mendatangi Wulan.  Biarlah Wulan masih terlihat marah, setidaknya sebentar lagi wulan mandi dan pasti akan ada waktu bagi Damar untuk menjelaskan semua kesalahan yang dilakukan, jika itu benar sebuah kesalahan.
Aku akan sabar menunggumu selesaikan kegiatan soremu,batin Damar. Dia sengaja tak melanjutkan obrolan lagi, setidaknya menjaga suasana agar Wulan tidak berubah pikiran dan mengusirnya. Hmmm....
Hampir lima belas menit Wulan mendiamkan Damar. Damar pun lebih memilih mengulik-ulik layar handphone, tentu setiap saat ekor matanya mengikuti pergerakan langkah Wulan. Entah apa di benak masing-masing. Hanya hati mereka yang tahu.