Bergegas ke ruang tamu, tidak kutemukan Bunda. Ternyata terdengar percakapan dari  teras depan, dan Ups...
Aku berbalik seratus delapan puluh derajat. Rasa laparku entah terbang ke mana.Â
"Natya, sinii sayang," panggilan Bunda menghentikan langkahku.Â
"Tidak baik menampik teman yang datang bertamu," lanjut Bunda.
Teman? Tamu?Â
Seberapa pantas lagi dia datang menemuiku? Bukankah Bunda sudah mengetahui semuanya? Lalu kenapa Bunda masih bisa bermanis-manis dengan dia? Kusesali kepulanganku terlalu cepat sehabis siaran tadi. Seharusnya aku menerima ajakan Dian untuk menemaninya memilih-milih perlengkapan bayi yang akan segera dilahirkannya. Maka, aku pasti akan pulang lebih malam dan tidak bertemu dengan tamu ini.Â
Empat  hari lalu, Bunda memang sempat cerita, kalau ada teman yang bertamu dan ingin menemuiku. Tapi, Bunda tidak katakan nama temanku itu, selain menyampaikan dia akan datang lagi. Sayangnya, aku tidak ingat dengan cerita Bunda itu.Â
Bunda beranjak menemuiku.
"Please,Bun. Kenapa Bunda terima dia?" air mataku menyeruak perlahan.Â
"Kenapa, Bunda ga bilang aja, kalau aku masih di luar?" gugatku.
"Natya, belajarlah menghadapi kenyataan," ibuku mengusap air mata yang tak lagi bisa kuajak kompromi.Â