"Ada yang sengaja tak kusampaikan kepadamu,Â
karena aku tahu kamu tak akan pernah jujur merasakan ,Â
apalagi membalasnya..."Â
Kata-kata itu seperti sengatan lebah, karena meninggalkan panas sekaligus perih. Bagaimana mungkin aku mampu menghilangkan perasaan yang kian lama kian membuncah, walaupun kutahu adalah sebuah kesalahan mencintaimu, tepatnya menyayangimu.Â
Sofia menuliskan imajinya pada blog pribadi berupa cerpen. Dan aku, salah satu yang mengagumi setiap tulisannya. Tetapi,saat ini, seperti Dejavu membaca tulisan Sofia. Padahal, baru prolog. Akh!Â
"Mungkin benar, aku tak bisa membalas dengan terang-terangan." Dinda  membiarkan perasaannya terbaca oleh Galih. Baginya lebih baik seperti itu, agar jelas semuanya akan berakhir pada  batasan mana. Â
"Jadi, perasaan sayangmu selama ini, hanya sebuah pelarian dari rasa sepimu, Dinda?" Galih menghakimi kekasihnya.
"Apa masih perlu kujelaskan sementara dirimu tak pernah berjuang untuk cinta kita?!" marah sekali Dinda menerima penghakiman itu.
Hampir enam bulan dia dan Galih membiarkan hati mereka terpaut pada cinta yang tidak seharusnya. Tapi, Dinda tak pernah mampu menghilangkan, walaupun ingin...
"Kecewa dan menyesal aku," lirih sekali Dinda mengalirkan kejujuran hatinya.
"Kecewa dan menyesal karena telah membiarkan perasaanku tumbuh semakin indah dengan kelopak kasih sayang yang tak pernah mampu kupatahkan, sementara akarnya tak pernah kutahu berpijak di mana, " Dinda akhirnya menangis.Â