Seyogyanya reformasi adalah cara untuk melakukan perbaikan dari berbagai jenis keburukan yang berpengaruh pada perkembangan suatu negara. Dan dengan berdirinya KPK yang  fokus pada pemberantasan korupsi, dan terus melakukan tindakan tersebut hingga beberapa petinggi harus tinggal di BUI.
Jika ada pelemahan kewenangan KPK, dan kasus korupsi bakal lari kemana. Kepada siapa yang akan menindaklanjuti kasus tersebut sebagai cara pembersihan korupsi dari tubuh pemerintah.
3. Degradasi Pasca Reformasi
Menurutnya jika dulu melihat suatu ketimpangan maka semua elemen mahasiswa akan agitasi perlawanan, namun kini, agitasi aktivis ibarat dagang obat di pasar, didengar namun tidak dibeli.
Mahasiswa yang dulunya menjadi momok yang menakutkan bagi birokrasi ataupun elit politik, kini berubah menjadi mitra setia. Kausalitas awal (sebabnya) tentu karena stimulus. Stimulus tidak hanya berupa uang, tetapi hubungan emosional maupun janji.
Mahasiswa umum (non organisasi) juga berubah wujud, metode berpikir kritis kini telah hilang. Refrensi utama mahasiswa adalah refrensi yang diberikan dosen. Tidak ada upaya kritis untuk mengkajinya.
Satria menambahkan, mahasiswa dibangunkan wadah untuk berhimpun dan tetap dalam akar partai, jadilah mahasiswa underbow partai. Jika telah menjadi milik partai, maka khitah mahasiswa bukan lagi sebagai agen kontrol kebijakan, namun menjadi humas partai tempat berafiliasinya. Banyak degradasi pasca reformasi.
4. Pasca Reformasi, Label Etnis Minoritas Harusnya Tidak Ada Lagi
Presiden Megawati kemudian mensahkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional mulai thn. 2003 dgn Keppres No. 19/2002. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melengkapi kebahagiaan etnis Tionghoa dgn Keppres No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yg menegaskan Warga Tionghoa yg lahir di Indonesia adalah 'bangsa Indonesia asli".
Rusli Sucioto mencatat bahwa sensus penduduk 2010 etnis Tionghoa mencapai angka 3,7 persen dengan angka sekitar 8,8 juta jiwa. Sejauh bangsa kita melangkah harus diakui masih tersimpan rasa curiga, bisa jadi itu warisan kolonialisme dengan politik devide et impera, atau warisan Orde Baru yg menempatkan etnis Tionghoa untuk menguasai bidang perdagangan saja.
Sebagian menuduh etnis Tionghoa menganut paham chauvinisme, yaitu paham yg mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain, sehingga etnis Tionghoa terkesan eksklusif dan tidak mau berbaur. Jelas anggapan ini salah karena etnis Tionghoa sendiri menyimpan trauma karena sering menjadi sasaran jikalau ada kemarahan massa